Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Komoditas Unggulan Maluku dan Maluku Utara Terencam Punah, Apa Peran Pemuda ?

Januari 23, 2023 | Januari 23, 2023 WIB Last Updated 2023-01-22T18:15:16Z
Maluku,detiknewstv.com "Petani Cengkeh Menjerit, Harga Bahan Pokok Mencekik, Minat Pemuda Untuk Bertani Semakin Menipis". 

Indonesia dahulu pernah dikenal sebagai negeri rempah-rempah. Hal ini menjadi alasan utama banyak bangsa Eropa jauh berlayar meninggalkan negerinya untuk datang ke Indonesia.

Setidaknya ada tujuh jenis rempah-rempah yang menjadi kekayaan Indonesia, diantaranya lada, kayu manis, pala, vanila, cengkeh, kunyit, dan jahe.

Salah satu rempah-rempah yang pernah sangat populer yakni Syzygium aromaticum atau dikenal dengan cengkih atau cengkeh merupakan salah satu tanaman rempah yang biasa digunakan sebagai penyedap rasa alami dan pengawet bahan makanan. Tidak hanya itu, cengkeh juga digunakan dalam industri rokok, minuman, hingga obat-obatan. 

Bukan soal seberapa banyak khasiat dan kegunaannya rempah ini, namun soal Indonesia dinobatkan sebagai negara penghasil cengkeh terbesar di dunia (the world's largest producing country). Pada tahun 2020, produksi cengkeh di Tanah Air mencapai 133.604 ton menurut data Food and Agriculture Organization (FAO).

Namun, sayangnya volume ekspor cengkeh semakin menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Januari- Oktober 2022, nilai ekspor cengkih RI ambles 53,71% menjadi 8,2 juta kg jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020 & 2021.

Dengan begitu, nilai ekspornya pun berkurang menjadi US$ 48,15 juta atau setara dengan Rp 752 miliar (asumsi kurs Rp 15.620/US$), anjlok 42,05% dari US$ 83 juta pada waktu yang sama tahun lalu.

Melansir data BPS, sepanjang Januari-Oktober 2022, Indonesia telah mengimpor cengkeh senilai US$ 189 juta atau Rp 2,9 triliun, di mana volume impor mencapai 21 juta kg. Indonesia mengimpor cengkeh dari Madagaskar, Tanzania, Comoros, dan Singapura.

Melihat kondisi ini, sebagai anak petani yang lahir di kepulauan Maluku saya merasa ini ancaman serius bagi kita petani di Maluku karena komoditas unggulan kita terancam dalam market dunia. 

Sebagai pemuda seharusnya ini direspon secara serius, dicari letak persoalannya dan dipikirkan solusinya bersama pemerintah untuk terus menjaga dan melestarikan komoditas unggulan kita. 

Salah satu penyebabnya adalah soal pembudidayaan tanaman rempah-rempah dan minat petani cengkeh dikalangan pemuda kian hari kian menurun karena cengkeh merupakan tanaman yang memiliki masa tanam yang lama. Masa panen yang hanya setiap dua hingga tiga tahun sekali ratio perputaran siklus keuangan dan roda perekonomian pada petani cengkeh dianggap lamban berdasarkan masa panen yang ada. 

Selain itu kebijakan impor oleh pemerintah yang menekan turunnya harga cengkeh lokal oleh petani petani cengkeh pada pasar nasional mempengaruhi minta para petani cengkeh untuk terus membudidayakan tumbuhan tersebut karena kebijakan regulasi pemerintah yang cendrung mementingkan sektor produksi ketimbang sektor pemberdayaan masyarakat petani cengkeh. 

Ironinya, julukan Indonesia sebagai 'Negeri Rempah-Rempah' (land of spices), tampaknya hanya menjadi cerita. Sebab, nilai ekspor lebih kecil ketimbang dengan impornya.

Untuk itu, pemerintah tampaknya harus lebih memerhatikan industri cengkeh dalam negeri, agar cengkeh dapat menjadi aset yang menguntungkan Indonesia dan kembali berjaya menjadi komoditas primadona Tanah Air.


Selain itu pemerintah daerah Maluku dan Maluku Utara harus mendorong BUMD sendiri pada bidang usaha dan jasa penjualan, pembelian dan produksi hasil rempah rempah komoditas unggulan dan atau mendatangkan investor yang bisa membeli, mengelola dan memproduksi hasil alam yang menjadi komoditas unggulan di daerah ini sejak dulu hingga kini. 

Sebab menjadi persoalan lain adalah soal distribusi bahan mentah rempah-rempah yang mahal biaya, akomodasi, tranportasi dan logistiknya. 

Pemuda harus bersuara keras, lugas dan tegas demi menjaga komoditi unggulan yang sudah menjadi Identitas kita selain dari pada mata pencaharian masyarakat lokal di Maluku & Maluku Utara.




Sumber: Sandri Rumanama
(Direktur LITBANG Indonesian Good Governance Watch)
×
Berita Terbaru Update