Jakarta, detikNewstv.com -Gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh Emma Widiastuty, seorang mantan Pekerja Jasa Lainnya Perorangan (PJLP), terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta, melalui kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Anak Republik Indonesia (LBH P&A RI), secara resmi telah lolos tahap dismissal di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Perkara ini kini telah teregister dengan Nomor 156/G/2025/PTUN.JKT, dan dipastikan akan dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan pokok perkara, termasuk proses pembuktian dokumen dan pendengaran saksi.
“Putusan dismissal ini menegaskan bahwa Mahkamah mengakui adanya kepentingan hukum yang dirugikan oleh keputusan Tergugat, dan membenarkan bahwa surat tersebut memenuhi unsur sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang sah untuk digugat serta dibatalkan,” ujar Paulus Alfret, SH., kuasa hukum Penggugat.
Objek Gugatan: Surat Diskriminatif yang Mengabaikan Hak Perempuan
Gugatan diajukan terhadap Surat Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta Nomor e-0250/KT.03.03 tertanggal 20 Februari 2025 tentang Penjelasan Permohonan Tripartit, yang pada intinya menolak penyelesaian sengketa hubungan kerja melalui tripartit dan menyatakan perkara bukan kewenangan Tergugat.
Surat ini dinilai telah melanggar hak-hak normatif Penggugat sebagai pekerja perempuan, khususnya atas hak cuti melahirkan dan cuti keguguran, dan bertentangan dengan:
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 28B ayat (2), 28D ayat (2), dan 28I ayat (2) UUD 1945
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Konvensi CEDAW dan Kovenan ICESCR yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Surat ini bukan hanya bertentangan dengan hukum nasional, tapi juga mengkhianati komitmen Indonesia terhadap hukum internasional yang melindungi hak-hak pekerja perempuan,” jelas Paulus Alfret, SH.
Dasar Hukum Gugatan dan Kualifikasi KTUN
Gugatan ini didasarkan pada Pasal 53 ayat (1) dan (2) UU No. 51 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat meminta agar keputusan tersebut:
Dinyatakan batal atau tidak sah, karena
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan/atau
Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
LBH P&A RI menegaskan bahwa Surat Tergugat telah memenuhi unsur KTUN berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN, dengan rincian sebagai berikut:
Penetapan tertulis: Surat tersebut adalah tindakan tertulis pejabat administratif.
Dikeluarkan oleh pejabat TUN: Surat dikeluarkan oleh Kepala Dinas yang berwenang secara hukum.
Bersifat konkret, individual, dan final: Konkret: Menyasar langsung pada hak cuti Penggugat.
Individual: Ditujukan eksklusif kepada Penggugat.
Final: Tidak memerlukan pengesahan lebih lanjut.
Menimbulkan akibat hukum: Surat tersebut menghapus hak cuti melahirkan dan keguguran, serta menghambat akses hukum Penggugat ke forum penyelesaian yang sah.
“Dengan lolosnya gugatan ini dari tahap dismissal, PTUN Jakarta menyatakan bahwa gugatan kami sah secara hukum. Ini membuktikan negara wajib menjamin hak-hak normatif pekerja, termasuk perempuan yang bekerja dalam skema PJLP,” lanjut Joko Mardiyanto, SH.
Fokus Gugatan: Pembatalan KTUN, Pemulihan Hak Menyusul di PHI
LBH P&A RI menegaskan bahwa fokus gugatan ini adalah pembatalan KTUN yang diskriminatif. Sementara itu, pemulihan hak-hak normatif seperti pelaksanaan cuti atau kompensasi akan ditempuh melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sesuai dengan mekanisme UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
“Kami memisahkan dua jalur hukum: PTUN untuk membatalkan keputusan administratif yang keliru, dan PHI untuk memperjuangkan hak-hak konkret atas cuti dan ganti rugi,” tegas Jupriadi, SH., salah satu anggota tim kuasa hukum.
Penulis : Anto