KUPANG, Kasus dugaan pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan yang kini telah melahirkan, kembali menjadi potret kelam penegakan hukum di Nusa Tenggara Timur. Di tengah sorotan tajam terhadap aparat kepolisian, keluarga korban dan Aliansi Peduli Keadilan (APK) mengungkap betapa lambannya Polres Kupang dalam menangani perkara ini, bahkan setelah laporan resmi disampaikan sejak November 2024, selasa, (15/4/25)
Awal Terbongkarnya Kasus
Kasus bermula pada Jumat, 8 November 2024, ketika orang tua korban mulai mencurigai perubahan fisik pada anak mereka: kaki bengkak dan wajah menguning. Keesokan harinya, Sabtu 9 November 2024, mereka membawa korban ke RSU Soe. Hasil pemeriksaan mengejutkan—anak tersebut sudah mengandung lebih dari lima bulan. Ketika ditanya siapa pelakunya, korban menyebut nama: Eduard Benu.
Langkah cepat diambil pihak keluarga. Pada Senin, 11 November 2024, laporan resmi dilayangkan ke Polres Kupang. Tanggal 14 November, visum dilakukan di RS Bhayangkara Kupang. Sementara itu, pada 18 November, keluarga juga melaporkan kasus ini ke PPA NTT. Namun, setelah itu, proses hukum seolah berjalan di tempat.
Penundaan demi Penundaan: Penyidik Dinilai Tak Serius
Hingga Januari 2025, tak ada progres berarti. Keluarga korban mendatangi Polres Kupang pada 9 Januari untuk mempertanyakan kelanjutan kasus. Tapi, penyidik saat itu dikabarkan tidak ada di tempat. Melalui sambungan telepon, penyidik berjanji akan memanggil pelaku minggu berikutnya. Namun, hingga hari-hari berlalu, tak ada tindakan. Bahkan alasan cuaca digunakan untuk menunda pemanggilan—padahal keluarga menyatakan tidak terjadi hujan saat itu.
Tekanan dari keluarga baru membuahkan aksi pada 17 Januari 2025, ketika polisi akhirnya turun ke lokasi dan menyerahkan surat panggilan pertama. Meski begitu, tak ada kabar lanjutan. Pelaku tetap bebas, tanpa pemanggilan kedua, apalagi penahanan.
Keluarga pun mencoba menelepon penyidik, tapi tak mendapat respons. Di titik inilah, frustrasi mereka memuncak.
Ombudsman Turun Tangan, Polisi Baru Bergerak
Merasa tak mendapat keadilan, keluarga melapor ke Ombudsman RI pada 14 Februari 2025. Hasilnya, Ombudsman segera mengambil langkah serius—meminta dokumen tambahan dan melakukan verifikasi hingga 19 Februari.
Barulah pada 7 Maret 2025, Polres Kupang mengeluarkan SP2HP bahwa status perkara naik dari penyelidikan ke penyidikan. Ironisnya, hari itu juga korban melahirkan lewat operasi caesar akibat kehamilan yang tak diinginkan.
Tanggal 13 Maret, polisi kembali memanggil korban dan saksi-saksi untuk pemeriksaan lanjutan. Namun baru pada 19 Maret 2025 disebutkan bahwa polisi akan melakukan pemanggilan resmi pertama kepada terduga pelaku—setelah sebelumnya mengklaim telah mengirim tiga surat undangan klarifikasi yang tak direspons.
Ketika Pelaku Kabur, Siapa Bertanggung Jawab?
Pada 20 Maret 2025, SP2HP menyebutkan bahwa SPDP telah dikirim ke JPU Oelmasi. Namun, surat panggilan kedua pada 24 Maret kembali diabaikan pelaku. Polisi akhirnya menerbitkan surat perintah membawa paksa pada 29 Maret. Tapi lagi-lagi, saat mendatangi alamat pelaku di Desa Noelmina, pelaku sudah tidak berada di tempat.
Publik pun mulai bertanya: bagaimana mungkin seseorang yang telah dipanggil hingga lima kali dan tidak pernah hadir, belum juga ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap secara paksa? Apakah aparat benar-benar ingin menyelesaikan kasus ini?
Pasal 112 ayat (2) KUHAP secara eksplisit menyatakan bahwa jika seseorang tak memenuhi panggilan pertama dan kedua, maka dapat dijemput paksa. Namun dalam praktiknya, Polres Kupang justru menghabiskan waktu dengan mengirimkan “undangan klarifikasi” berkali-kali.
Akibatnya, pelaku kini diduga melarikan diri. Kesempatan ini, menurut keluarga korban, adalah hasil dari kelambanan aparat yang seolah memberi ruang pada pelaku untuk menghindari proses hukum.
Aliansi Peduli Keadilan Desak Tindakan Tegas
Melihat situasi yang semakin tidak menentu, Aliansi Peduli Keadilan menyampaikan tuntutan kepada pihak berwenang:
1. Mendesak Polres Kupang untuk menetapkan Eduard Benu sebagai tersangka dalam waktu 1x24 jam.
2. Menuntut pencopotan penyidik PPA, Humas, dan Kasat Reskrim Polres Kupang yang dinilai gagal menjalankan tugasnya.
3. Menuntut transparansi dalam proses penanganan perkara.
4. Mendesak pemulihan psikologis terhadap korban.
5. Meminta evaluasi menyeluruh terhadap penanganan kasus kekerasan seksual di Kabupaten Kupang.
Penutup: Di Antara Harapan dan Keadilan yang Mandek
Kasus ini menunjukkan betapa rumitnya akses keadilan bagi korban kekerasan seksual, apalagi anak di bawah umur. Penundaan demi penundaan, minimnya komunikasi, dan absennya tindakan tegas membuat keluarga korban merasa diabaikan oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Apakah kita akan terus menyaksikan pelaku kekerasan seksual anak bebas berkeliaran, sementara korban dan keluarganya justru menjadi pihak yang harus berjuang sendiri demi keadilan?
Keadilan yang lambat bukanlah keadilan. Dan dalam kasus ini, waktu justru menjadi sekutu bagi pelaku, bukan korban.
Penulis : Djhohanes Bentah