Jakarta,Demikian kurang lebih pertanyaan akun atas nama @Home Industri Papuasso dari Timika ditujukan kepada saya. Berikut jawaban saya silahkan disimak bersama.
Manfaatnya.
Manfaat dari keputusan ke-lima (5) Kepala Suku Welesi menyerahkan Tanah kepada Pemerintah untuk Pembangunan Kantor Gubernur Propinsi Papua Pegungan Sangat Besar sekali, terutama Untuk Kemajuan dan Memodernisasi Pembangunan dalam segala aspek kehidupan orang Papua kedepan.
Keputusan kelima suku Welesi ini menurut hemat saya pribadi, sangat maju, berani, baik, benar dan moderat dan sangat bermanfaat sangat besar.
Luar biasa kelima Kepala Suku Welesi ini pemikirannya sangat maju. Karena dampaknya positifnya juga Luar Biasa sangat banyak sekali dan sudah tentu ada sedikit dampak negative jika orang-orang sekitar tidak memanfaatkan secara maksimal peluang dan kesempatan keputusan ini, sudah tentu ada dampak termarginalkan dari pembangunan sebagai penonton tapi lebih besar dampak positif dari negative.
Landasan kontruksi berfikir semua manusia bahwa sejatinya hidup dan kehidupan manusia serta alam dalam proses terus berubah, “be coming”, selalu “membelum”, selalu “meny(s)edang”, The prossesing, demikian filsafat pengetahuan secara umum, bahwa hidup dan kehidupan itu selalu berubah seiring waktu.
Makanya seorang Tokoh Atheis dari Prancis bernama Albert Camus kelahiran Aljazair Afrika Utara sangat terkenal, yang fatalistik karena menganut faham (filsafat) absurdisme, atau nihilisme, menganggap hidup ini tidak ada makna hanya deretan waktu ketidakpastian menunggu mati, menuju keabadian misteri.
Dengan maksud disini bahwa hidup dan kehidupan manusia selalu berproses menuju perubahan terus menerus, itulah yang abadi, selalu dan selamanya, dan kita semua dalam proses perubahan itu.
Bicara soal Out Put (hasil) dari kebijakan Lima Kepala Suku Welesi sebagai penguasa WILAYAH, tentu tidak sedikit, sangat besar dan banyak sekali manfaatnya.
Dari sisi politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan berbagai aspek kehidupan dan perubahan dari era masyarakat berpola hidup primitive (berorientasi masa lalu) menuju era pembangunan Modern, dari kegelapan menuju cahaya terang benderang (minadhuluma ilannur).
Dalam berbagai tempat dalam tulisan sudah saya sampaikan saya tidak akan mengulang -ulang disini kembali, intinya saya orang pertama yang mengusulkan atau lebih tepat memohon, meminta, Kantor Gubernur dibangun di Walesi.
Apa urgensinya? Dan apa garansinya? Judulnya kita serahkan suka rela, karena untuk kepentingan umum (rakyat PP semua). Tentu saja kita harap manfaat dan dampak positif secara optimistik memandang kedepan sembari menengok kebelakang masa lalu warisan budaya kita yang positif dan meninggalkan yang negative (perang suku) kita kubur bersama.
Disini saya bukan ketua Tim tapi saya dengar Ketua Tim namanya juga Ismail Wetapo, dia keponakan saya sendiri dan Ismail Wetapo adalah (perwakilan) Salah Satu Suku dari Lani-(We) Tapo.
Ismail Wetapo sebagai Ketua Tim termasuk salah satu dari Lima Suku Welesi yang ikut menandatangani setuju menyerahkan. Tidak ada satupun orang Welesi sebagai pemilik lahan dan Penguasa perang pelindung lahan, tidak setuju, sekali lagi semua setuju, menyerahkan kepada pemerintah secara cuma-cuma.
Mengapa? Karena lima kepala suku dari Welesi menurut saya pemikirannnya sangat maju, moderat, innovative dan progressive, menjangkau jauh kedepan apa yang akan terjadi 10-20 tahun ke masa depan bagi anak cucu generasi kedepan yang hidup penuh persaingan ilmu pengetahuan dan keterampilan penguasaan aspek kehidupan modernisme yang terus berubah setiap. detik.
Sekali lagi , mohon catat ini baik-baik, Tidak Ada satupun Kepala Suku Welesi belum tanda tangan, seluruh Kepala Suku terdiri dari berikut ini sudah tanda tangan yaitu:
1. Suku Lani – Matuan diwakili Yohanes Lani
2. Suku Lani (We) -Tapo
3. Asso (ye)-Lipele
4. Yeliepele-Elokpere
5. Yelipele Induk atau Umum
Dari kelima suku ini mereka semua tahu, pemlik tanah siapa, marga apa, Honai adat bergabung dimana, masuk dalam suku mana (“Wakun Oak”) dimana, “Awenj Oak”, dimana, “Ai Honai” dimana, “Wenj Akewela” dimana, dan seterusnya dan seterusnya, semua tahu dan paham.
Sekali lagi semua perwakilan penguasa diatas (sebagai panglima perang suku) kelima Suku dan Pemilik Lahan dari sejarah perjalanan leluhur dan pemilik tanah “sacral, keramat” siapa pemilik Tanah “Isuagec Ima, @Ilnyo Agec Ima”, “Mulinai” dan sekitar disitu semua Kepala Suku tahu dan punya dasar.
Secara umum Lahan Kantor Gubernur pada masa lalu Medan terjadi tempat peperangan antar suku antara Welesi dan Wouma yang sejatinya masih kerabat keluarga. Lokasi peperangan ini sudah terlalu banyak nyawa orang Walesi dan Wouma tumpah darah.
Penyerahan lahan sebagai fasilitas umum sesungguhnya secara simbolik sebagai langkah perdamaian kedua suku untuk melupakan masa lalu perang saling bunuh-membunuh sesama untuk pembangunan dan perdamaian bagi kemajuan bersama.
Saya sejak awal sudah tahu siapa aktor yang “bermain”, ada masalah pribadi didalam keluarga. Persoalan keluarga ini dibawa keluar menganggu kepentingan umum, ada rivalitas dan itu semua orang Welesi tahu dan semua keluarga kita selalu bisa terjadi, dari marga manapun, Honai manapun, suku manapun hal itu wajar dan memang harus terjadi untuk memunculkan seleksi alami siapa Kepala Suku Paling kuat dan Pantas mampu mengatur atas nama suku dan memegang estafet kepemimpinan orangtua mereka pada masa lalu.
Dari Keluarga Bapak Markus Lani misalnya Ketokohan Kepala Suku Besar, Suku Lani-Matuan dan Lani-Tapo, sebelumnya pernah ada Tete OHELELE Lani. lalu muncul keturunan dari Tete Ohelele muncul Kepala Suku Suku Paling disegani dan berwibawa duet “Keraghei – Sawoghosa” dari Suku Lani -Matuan dan sekaligus Lani-Tapo secara umum wilayah kekerabatan sekaligus kekuasaannya dari Welesi-Napua-Elewahga- Walac, didukung semua konfederasi dan alianasi peta perang masa lalu.
Ketika penyerahan Tanah Adat Lima Suku Welesi oleh kelima Perwakilan Kepala Suku, persoalan disharmoni internal suku dibawa keluar, mengingat orientasi budaya suku Lembah adalah ‘prestage’, nama besar, ingin muncul nama besar sebagai titisan penguasa orangtua masa lalu.
Semua suku sudah lalukan rekonsiliasi kedalam dalam persoalan pro-kontra diselesaikan kedalam, ternyata ada konflik internal keluarga agak susah semakin renggang dan jauh seperti antara kucing dan anjing susah bersatu karena masing-masing mempertahankan prinsip.
Persoalan internal macam begini bukan halangan dan bukan hal baru dalam kehidupan sosial masyarakat manapun. Dan itu bukan menjadi halangan sehingga tanda tangan persetujuan kelima Kepala Suku Welesi yang sudah tanda-tangan setuju menyerahkan lalu dianggap gagal, yang ada masalah satu keluarga bukan persoalan lima suku.
Saya baru dengar istilah Out Come, tapi mungkin maksud Pak Kepala Suku @Arnold Asso 1, In Come, pemasukan atau pendapatan.
Pemasukan atau keuntungan dari penyerahan Tanah jika dikalkulasi tak dapat dihitung dan sifatnya permanen dan abadi antar generasi orang Welesi akan mendapat seluruh akses pembangunan memasuki era kemodernenan, kemajuan dan membantu kesejahteraan dan peradaban tidak akan ketingggalan zaman dan seterunsya.
Dalam pada itu aspek dampak negative selalu diikuti dan itu sudah tentu akan terjadi mislanya dalam MoU dengan pemerintah misalnya seluruh Putra-Putri pemilik halk ulayat Tanah dibeasiswakan pendidikan sampai setinggi-tingginya, penerimaan pegawai, atau posisi Gubernur dan Wakil Gubernur harus ada dari kelima suku Welesi dan sejenisnya bisa saja dibuat secara tertulis diatas materai dihadapan notaris.
Demikan secara singkat saya lengkapi tulisan saya sebelumnya dalam jawaban saya disini untuk dipahami bersama semua pihak berkepentingan. Terimakasih.
Selamat Hari Kesaktian Pancasila 1 Juni 2023.
Ismail Asso, Suku Assolipele Welesi.