Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pemberhentian Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad Merusak Ekosistem Ketatanegaraan Dan Mekanisme Etik

Mei 30, 2023 | Mei 30, 2023 WIB Last Updated 2023-05-30T10:38:06Z
Jakarta,Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia
Mencermati dinamika politik pemberhentian senator Fadel Muhammad, selaku wakil ketua MPR RI dari unsur DPD RI, sedang dan tengah terjadi distorsi, disorientasi dan deviasi terhadap aturan hukum dan mekanisme etik yang berlaku di dalam tubuh DPD RI. 
Pemberhentian tersebut telah memantik aneka tanggapan, dan ragam persepsi dari berbagai pihak terutama anggota di internal organ DPD RI. Hal ini, disebabkan dalil pemberhentian senator Fadel Muhammad, selaku pimpinan MPR dari unsur DPD RI berdasarkan "mosi tidak percaya". Selain itu, prosesnya tidak melalui mekanisme etik terlebih dahulu di Badan Kehormatan, tetapi langsung di bawah ke sidang paripurna.

Menyikapi polemik yang tengah terjadi, menurut hemat saya pemberhentian senator Fadel Muhammad merupakan bentuk tindakan penekanan politik dan sewenang-wenang. Sehingga berimplikasi merusak ekosistem ketatanegaraan Indonesia dan rel-rel etik yang berlaku di internal organ DPD RI.

Sebagaimana diketahui "mosi tidak percaya" lazimnya menjadi dasar pengambilan keputusan dan dipraktekkan di Negara-negara, yang menganut sistem pemerintahan parlementer seperti Jepang, Inggris, Belanda dan Malaysia. 

Sementara, Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, "mosi tidak percaya" tidak memiliki dasar hukum dalam sistem ketatanegaraan. Itu sebabnya tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum pengambilan keputusan. Baik itu, dilacak di dalam Konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan UU MD3 maupun tata tertib DPD RI.

Secara normatif dasar hukum dan prosedural-formal pemberhentian dan penggantian anggota, pimpinan DPD RI dan pimpinan MPR RI dari kelompok DPD, telah diatur di Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Tertib, Peraturan
DPD Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Kode Etik, dan Peraturan DPD Nomor 5 Tahun
2017 tentang Tata Beracara Badan Kehormatan, serta Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib.

Khususnya di tata tertib DPD RI Nomor 1 tahun 2022, tidak mengatur tentang proses pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR RI, melainkan hanya mengatur tentang pemberhentian dan penggantian anggota dan pimpinan DPD. Oleh karena itu, Peraturan tersebut tidak melegitimasikan pimpinan DPD untuk berwenang memberhentikan dan menggantikan pimpinan MPR di sidang paripurna DPD RI.
 
Hingga saat ini tidak ada aturan hukum yang mengatur tentang pimpinan DPD berwenang memberhentikan pimpinan MPR RI. Meskipun, senator Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR RI merupakan delegasi dari unsur DPD RI.  Tetapi, terkait pemberhentian dan penggantiannya tetap menjadi domain pimpinan MPR RI dengan menggunakan dasar hukum tata tertib MPR RI, bukan tata tertib DPD RI. 

Oleh karena itu, pemberhentian dan penggantian senator Fadel Muhammad di sidang paripurna dalam kapasitas sebagai pimpinan MPR, dan bukan sebagai anggota DPD RI, merupakan cacat prosedural-formal dan inkonstitusional. Karena bukan domain pimpinan DPD, tetapi merupakan domain pimpinan MPR yang syarat dan mekanisme nya telah diatur di dalam peraturan MPR RI Nomor 1 tahun 2019 tentang tatib. 

Legal matriks dan prosedural-formal pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR RI, telah termaktub secara eksplisit dalam rumusan norma Pasal 29 Ayat 1 tata tertib MPR RI No 1 tahun 2019, yang menyebutkan bahwa "pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena : a, meninggal dunia, b, mengundurkan diri, c, diberhentikan, d, menjabat sebagai pimpinan DPR/DPD, atau e, diusulkan penggantian oleh fraksi/kelompok DPD. 

Selanjutnya menurut rumusan norma ayat 2, pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada huruf c apabila : a, diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD atau b, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan.

Atas dasar itu, saya menilai proses pemberhentian Fadel Muhammad dari pimpinan MPR RI, dengan berdalil "diberhentikan" menggunakan norma Pasal 29 Ayat 1 huruf c, sesungguhnya terjadi pengkaburan norma atau bertentangan dengan rumusan norma Pasal 29 Ayat 2 huruf a dan huruf b sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam tatib MPR nomor 1 tahun 2019. 

Berdasarkan amanat norma Pasal 29 Ayat 2 huruf a dan b, maka senator Fadel Muhammad selaku pimpinan MPR dari kelompok DPD tidak serta merta diberhentikan secara sepihak di sidang Paripurna, dengan berdalil mosi tidak percaya. Melainkan terlebih dahulu diberhentikan dari status keanggotaan DPD RI, melalui mekanisme etik di Badan Kehormatan, dengan memutuskan bahwa yang bersangkutan telah terbukti dan meyakinkan melanggar kode etik dan tatib. 

Hal ini sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang Badan Kehormatan sebagaimana diamanatkan dalam rumusan norma Pasal 26 Ayat 1, Pasal 27 ayat 1, 2, 3 dan 4, serta Pasal 100-101 tatib DPD RI nomor 1 tahun 2022. Setelah selesai mekanisme etik di Badan kehormatan, maka kemudian baru bisa ditindaklanjuti untuk proses pemberhentian di sidang paripurna DPD RI, dan selanjutnya terjadi proses penggantian dari wakil ketua MPR oleh pimpinan MPR RI.

Oleh sebab itu, dalil hukum yang digunakan terkait pemberhentian Fadel Muhammad dengan menggunakan norma Pasal 29 Ayat 1 huruf c, dan proseduralnya tidak melalui mekanisme etik di Badan Kehormatan merupakan cacat materiil dan formil. Karena yang bersangkutan statusnya masih aktif, dan belum diberhentikan sebagai anggota DPD. Hal ini sesuai amanat norma Pasal 29 Ayat 2 huruf a dan b.

Menurut norma Pasal  27 ayat 1 menyebutkan "pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 2 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf f dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan atas pengaduan dari pimpinan DPD, masyarakat dan/atau pemilih." 

Namun fakta empiris membuktikan pemberhentian senator Fadel Muhammad, tidak melalui hasil penyelidikan dan verifikasi Badan kehormatan, yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan.

Di tata tertib DPD RI nomor 1 tahun 2022, hanya ada satu pengecualian mengatur tentang pemberhentian anggota tanpa melalui sidang kode etik, sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam rumusan norma Pasal 25 ayat 2 huruf c, yang menyebutkan bahwa "dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih." 

Dengan demikian, selain Pasal 25 Ayat 2 huruf c yang mengatur pengecualian di atas, maka setiap anggota yang di anggap melanggar kode etik dan tata tertib DPD RI, tidak serta merta diberhentikan di sidang paripurna DPD RI. Melainkan dugaan pelanggaran tersebut, harus di uji di Badan kehormatan melalui mekanisme etik terlebih dahulu. 

Kendati demikian, keputusan sidang paripurna tentang pemberhentian senator Fadel Muhammad tetap sah, dan bersifat mengikat kedalam.Tetapi untuk menilai keabsahan dari sidang paripurna tersebut, maka pengadilanlah yang berwenang memutuskan perkara yang saat ini ada di meja pengadilan. 

Hal itu penting untuk menyoalkan apakah sidang paripurna terkait proses pemberhentian Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR RI dari unsur DPD RI, tanpa mekanisme etik terlebih dahulu di Badan Kehormatan, dan dalil mosi tidak percaya memiliki kekuatan hukum yang kuat atau tidak.

Semenjak hasil keputusan sidang paripurna pemberhentian senator Fadel Muhammad, selaku Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI hingga saat ini, belum memberikan kepastian hukum bagi anggota dan pimpinan DPD RI. Sebab, para pimpinan MPR RI terlihat dilema dalam menghadapi iklim dinamika politik, yang tengah melanda internal tubuh DPD RI.

Dilema yang di hadapi oleh Pimpinan MPR RI, ialah apakah menindaklanjuti surat pengusulan penggantian pimpinan MPR RI, dari unsur DPD RI untuk menggantikan Fadel Muhammad. Dengan dasar pertimbangan bahwa keputusan sidang paripurna DPD RI tersebut, sah dan bersifat mengikat kedalam. Atau tetap menolak surat pengusulan penggantian dengan beberapa alasan diantaranya : masih terdapat masalah hukum di internal tubuh DPD RI, terjadi pencabutan tanda tangan dari hasil sidang paripurna oleh pimpinan DPD, dan saat ini keabsahan hasil sidang paripurna tersebut sedang di uji di pengadilan.

Walaupun keputusan sidang paripurna pemberhentian senator Fadel Muhammad, selaku wakil ketua MPR RI dari unsur DPD RI, tetap sah dan bersifat mengikat kedalam. Tetapi sekali lagi hasil sidang paripurna harus di uji di pengadilan, karena dinilai tidak memenuhi syarat formil maupun materiil. Pentingnya pengujian di pengadilan agar mengatahui pemberhentian tersebut, memiliki dasar hukum dan mekanisme etik yang dijalankan sudah sesuai dengan rel-rel hukum yang berlaku atau tidak. 

Sehingga dengan demikian, kebenaran tidak mudah disalahgunakan dan dimanipulasi melalui praktek sewenang-wenang oleh kelompok mayoritas di tubuh DPD. Selain itu, agar jangan terjadi tirani mayoritas terhadap minoritas di rumah parlemen. Karena Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional, suara mayoritas tidak diidentikkan dengan kebenaran. 

Masalah pemberhentian senator Fadel Muhammad selaku wakil ketua MPR RI dari unsur DPD RI, selain sedang pengujian di pengadilan juga di bawah ke Badan Kehormatan. Oleh karena itu, dalam konteks kode etik, yang menjadi ukuran adalah prosedur dari tindakan yang diambil dalam sidang paripurna, bukan hasil akhirnya. Dengan kata lain, meski hasil akhirnya kurang memuaskan, yang utama adalah prosedural benar.

Sementara fakta empiris membuktikan proses yang ditempuh di sidang Paripurna, terkait pemberhentian senator Fadel Muhammad prosedural-formalnya tidak benar, dan inkonstitusional.

Jadi, dalam sidang kode etik nanti maupun di persidangan di pengadilan, Badan Kehormatan DPD RI harus meninjau semata-mata dari aspek peninjauan etik, terhadap perkara yang sedang dihadapi saat ini. Sedangkan hakim di pengadilan benar-benar harus meninjau dari asfek normatitnya. 

Karena memang kenyataannya sudut pandang para pihak dalam menginterpretasikan norma tatib dan kode etik terkait perkara a quo berbeda. Dimana para pihak yang mendukung hasil sidang paripurna pemberhentian senator Fadel Muhammad, selaku wakil ketua MPR RI dari unsur DPD RI hanya memandang dari optik politik tanpa melihat asfek yuridis formal/legalistik.



Sumber Penulis:Paman Nurlette
×
Berita Terbaru Update