Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ustadz Ismail Asso:Tujuan Lima Kepala Suku Walesi Menyerahkan Tanah Pembangunan Kantor Gubernur Daerah Otonom Baru DOB Provinsi Papua Pegunungan

Mei 31, 2023 | Mei 31, 2023 WIB Last Updated 2023-05-31T11:48:10Z
ustadz Ismail Asso: “Tidak ada manusia yang dapat bertahan hidup sendirian, tidak ada negara, agama, atau suku yang dapat bertahan hidup sendirian”.

Jakarta,Masyarakat Papua Pegunungan umumnya dan khusus masyarakat Distrik Welesi Kabupaten Jayawijaya Propinsi Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua Pegunungan, ingin maju seperti daerah lain dari ketertinggalan.

Adapaun ketertinggalan itu seputar pembangunan dibidang pendidikan dan kesehatan, guna terwujudnya kesejahteraan umum dengan garansi menyediakan lahan tanah miliknya kepada negara untuk membangun fasilitas Kantor Gubernur sebagai fasilitas umum penyelenggaraan pemerintahan wilayah. 

Banyak pihak menolak, keberatan dengan berbagai alasan. Pertanyaanya adalah ketika kelima Suku bersepakat menyerahkan Tanah garapan mereka untuk Pembangunan Kantor Hubernur salahnya dimana? 

Penolakan

Kalau bukan pemilik tanah yang menolak pembangunan Kantor Gubernur mau bilang apa? Kecuali memprovokasi orang datang dari luar untuk terlibat penolakan! 

Tapi hasil manfaat penolakan tujuannya untuk apa dan bagaimana? Kebun? Apakah Tanah “Isuagec Ima” dan “Elyoagec Ima”, “Mulinai”, satu-satunya lahan berkebun masyarakat Welesi? Tidak! 

Apakah yang menolak Pemilik Kebun Lahan Kantor Gubernur? Bukan! Hanya sebatas Pelindung Tanah secara komunal suku, tapi perwakilannya sudah tanda tangan menyerahkan termasuk didalam lima (5) suku. Mereka yang keberatan dan menolak ternyata bukan pemilik Hak Ulayat Tanah! 

Lalu kantor Gubernur Propinsi Papua Pegunungan mau dibangun dimana? Semua pihak bermain agar lahannya disediakan dibeli pemerintah (negara). Ada pihak yang bermain dalam issu pembanguan Kantor Gubernur Propinsi Papua Pegunungan.

Berbeda dengan 5 suku Welesi menyerahkan dengan suka rela asalkan putera puteri mereka terekrut masuk dalam sistem birokrasi menjadi abdi negara, menyerahkan secara cuma-cuma kepada negara, dengan catatan (ini yang saya dengar) mulai dari tukang sapu halaman, security, pegawai jawaban Propinsi ingin dititip agar direkrut pemerintah Propinsi Papua pegunungan.

Ini yang saya dengar selebihnya saya tidak paham karena saya tidak ikuti proses hanya usulan pertama ketika penempatan kantor gubernur di Muliama (Balim Tengah) ditolak warga, saya telepon Bupati Jayawijaya John Banua, kenapa ditolak? Kalau bgitu di Welesi saja, dan hasilnya usulan saya cepat direspon oleh Kepala Suku Lani-Matuan Bapak Maximus Lanni, dia orang pertama yang menangkap lalu, diikuti seluruh 5 suku konfederasi perang (masa lalu) yang di Welesi bersepakat menyerahkan lahan untuk kepentingan umum pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan.

Lalu jika ada pihak keluarga dari Lima (5) Kepala Suku Welesi yang sudah tanda tangan menyerahkan dan diproses hukum melalui Agraria, apakah Kantor Gubernur batal bangun di Welesi? Tidak! 

Tetap bangun karena lima suku sudah menyerahkan secara resmi. Kita sudah paham semua pihak yang ikut-ikutan menolak kantor Gubernur di Welesi ada aktornya, mau bangun dimana? Ibarat dua mata uang, disini lain ikut memprovokasi menolak, disini lain ingin ditempatkan Kantor Gubernur di Wilayahnya atau diatas lahannya. Buah simalakama bukan?

Saya tidak bingung!

Berikut ini saya lampirkan study kasus penyerahan Tanah Kompleks Islamice Centre Welesi oleh Umat Islam Walesi tahun 2008 dan secara resmi tahun 2014.

Study kasus.

Madrasah Ibtiadaiyyah Merasugun Asso Welesi terjadi kelangkaan tenaga pengajar, demikian Ustadz - Ustadzah (guru-guru agama) di Pondok Pesantren Al Istiqomah Walesi terjadi kelangkaan. 

Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Papua ada tidak maksimal, Pemkab Jayawijaya tidak ada kepedulian sama sekali, mau membiayai honor guru guru swasta, terjadi kelangkaan guru. Siswa - siswa anak-anak kami tidak punya guru waktu menjadi problem.

Saya mengajak rapat dengan beberapa Tokoh perwakilan asal Walesi untuk sosialisasi sekaligus mau menyampaikan gagasan. Ide-nya bahwa mengeluarkan Yapis dari Walesi dan menyerahkan seluruh asset kompleks Islamic Centre (Pusat Islam) Welesi kepada negara (dalam hal untuk dikelola oleh Kementerian Agama RI).

Untuk tujuan ini saya datangi Kabid Pendidikan Kementerian Agama Wilayah Papua di Entrop Jayapura. Disitu saya sampaikan Tanah Kompleks Mesjid Madrasah berikut Pondok Pesantren diserahkan ke Negara (Kementerian Agama RI).

Prinsip pemikiran saya waktu itu sesuai amanat konstitusi negara bahwa tujuan berdirinya negara untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu sama halnya dengan persoalan kelangkaan tenaga pengajar kompleks pendidikan berpola Pondok Pesantren Papua pertama ini harus diserahkan ke Negara.

Negara sesuai amanat konstitusi wajib hadir menjawab tantangan kelangkaan tenaga pengajar (guru-guru agama) bagi siswa-siswi anak-anak kami disana. Pada akhirnya harapan itu disambut dan terlaksana.

Kompleks Pendidikan Islam Welesi Dikelola Negara (Kementerian Agama RI) Sejak Tahun Tahun 2008 saya gagas dan tahun 2011 dimulai proses pengukuran lahan 5 hektar resmi terbit Sertifikat Tanah Milik Kementerian Agama RI, Tahun 2014. 

Saat ini kompleks Madrasah Ibtiadiyyah berikut Mesjid dan Madrasah Tsanawiyyah (MTS) dan Pondok Pesantren Al Istiqomah Walesi sepenuhnya sudah diserahkan ke Kementerian Agama RI. Kementerian Agama beli Tanah pakai uang negara nilainya Milyaran. Namun pemanfaatan sepenuhnya bagi umat Islam Papua secara umum.

Muncul Kasus

Disitu pemilik Tanah bagi-bagi uang, salah satu permintaan pembayaran tunai selain uang ditambah satu unit Mobil Terios diserahkan kepada pemilik lahan oleh Perwakilan Dinas Kementerian Agama RI dari Kantor Kementerian Wilayah Propinsi Papua naik dari Jayapura.

Uang pembayaran dibagi-bagi ke pihak-pihak pemilik hak ulayat Tanah.

Sesuatu hal diluar dugaan terjadi, semua uang pembayaran tanah yang dibagi-bagikan dikembalikan. Orang takut dan tidak mau menerima (makan/pakai) uang itu, apalagi uang bernilai puluhan juta atau ratusan ribu dipakai sekedar beli rokok saja orang sangat takut, pamali, haram, kermat, janggal, tak biasa, dan asosiasi semacamanya.

Keluarga saya salah satu pihak yang wajib kebagian uang pembayaran tanah itu sesuai amanat leluhur adat budaya setempat walaupun bukan pemilik Tanah. 

Namun seluruh keluarga besar saya mengembalikan uang pembayaran tanah itu, dengan berbagai alasan intinya “takut”, menurut mereka itu uang haram, pamali, sacral, “hasil jual tanah pantangan boleh dimakan”. Karena itu sama artinya makan tanah, tanah masuk dalam perut dengan berbagai implikasi kutukan alam dst.

Tapi saya bersikap rasional, saya menerima uang tunai untuk biaya pendidikan anak saya. Berbeda dengan seluruh kerabat keluarga saya yang kesemuanya mengembalikan uang (menolak) karena hal demikian haram hukumnya (dilarang) atau pantangan dalam budaya Lembah Balim.

Menjual tanah kepada pihak lain tidak dikenal, kecuali untuk berkebun (mengolah) lahan tapi bukan tujuan berkebun sesama pada masa lalu tak mengenal jual beli tanah. Jual beli Tanah ada tapi sifatnya berter dengan mahar benda-benda pusaka (ye / batu hitam [axe]) dan “Sike Ewe Sike” (Panah Asli berasal dari Suku Meepago) tapi untuk tujuan tanah garapan berkebun bukan jual beli.

Tanah Hibah Bukan Asas Jual Beli

Dengan cerita seperti ini ingin saya jelaskan disini bahwa mengapa 5 Suku di Welesi tidak menjual belikan lahan tapi menyerahkan kepada pemerintah dengan garansi penerimaan pegawai setiap gubernur wajib prioritas sarjan putra-putri asal pemilik lahan kantor Gubernur?

Karena tradsisi pemahaman kepemilikan tanah dalam kebudayaan Lembah Balim bersifat sacral. Budaya mengajarkan rasa hormat pada Tanah, tanah bagi pemiliknya suatu hikayat, cerita, tempat keramat perjalanan leluhur nenek moyang. Hal itu dipersembahkan kepemilikannya dengan simbol :”Wam esako KAGALEK”, dilambangkan dengan menandai telingga babi sebagai ciri persembahan pada arwah leluhur. Karenanya jual-beli Tanah pantangan, tabu, takut, haram, tidak mungkin, terlarang. Antara alam dan manusia menyatu (emanasi).

Dan ada anggapan makan minum hasil jual beli tanah, sama artinya makan diri sendiri, jual diri, karena kadang tanah dianggap sebagain dari diri manusia, tempat lahir, rahim ibu, darimana manusia berasal, darimana manusia lahir dan ada diatas tanah, tanah sepenuhnya sacral dalam pandangan buday Lembah Balim sehingga tidak ada tradisi jual beli Tanah. 

Kecuali setelah hadirnya pemerintah dan orang luar di Kota Wamena Lembah Balim mulai terjadi transaksi mislanya di areal tanah dekat Sinagma. Disitu saya pernah saksikan karena Tanah disana pemiliknya orang Welesi. Ketika Suadara-Saudara dari Dani Barat mau menempati areal tanah disana untuk membangun rumah, mereka potong babi dipersembahkan kepada Kepala Suku Welesi, Tanah diserahkan tapi sesuai budaya Orang Dani Barat (Tiom dan Makki), menyerahkan babi kepada pemilik tapi itu juga tanpa diminta melainkan sepenuhnya atas inisitive Suku Dani Barat yang mau membangun rumah dan berkebun disitu.





Sumber:Ismail Asso  Peminat Budaya Lembah Balim Jayawijaya
×
Berita Terbaru Update