Jakarta,detiknewstv.com Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) merilis sejumlah foto dan video yang memperlihatkan seorang pria kulit putih yang diklaim sebagai pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mehrtens.
Dalam sejumlah video tersebut, pria yang diklaim sebagai Philip Mehrtens memakai jaket denim biru, celana, dan topi coklat. Dia diapit oleh tujuh pria bersenjata laras panjang yang mengaku sebagai anggota TPNPB-OPM.
"Indonesia needs to recognize Papua's independence [Indonesia perlu mengakui kemerdekaan Papua],” ujar pria kulit putih itu dalam video yang diterima BBC News Indonesia, pada Selasa (14/02), kemarin tepat satu pekan setelah Philip dinyatakan disandera.
Pria di sebelahnya memperkenalkan diri sebagai Egianus Kogoya, pemimpin TPNBPB-OPM.
Dia mengaku menyandera Philip sesaat setelah pesawat Susi Air Pilatus Porter PC 6/PK-BVY mendarat di Bandara Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Papua, pada 7 Februari lalu.
“Saya bersama pilot, saya sandera dia dari Paro. Saya sandera dia untuk Papua merdeka, bukan untuk makan atau minum. Itu tidak ada. Jadi saya akan bawa pilot sampai Papua merdeka,” sebut pria yang mengaku sebagai Egianus Kogoya.
Dalam sebuah video lain yang juga diterima BBC News Indonesia, terdapat pesawat berlabel Susi Air yang tampak dilalap api di bagian kokpit. Asap tebal kemudian mengepul dari dalam pesawat.
“Indonesia needs to recognize Papua's independence [Indonesia perlu mengakui kemerdekaan Papua],” ujar pria kulit putih itu dalam video yang diterima BBC News Indonesia, pada Selasa (14/02), tepat satu pekan setelah Philip dinyatakan disandera.
SUMBER GAMBAR,TPNPB-OPM
Keterangan gambar,
“Indonesia needs to recognize Papua's independence [Indonesia perlu mengakui kemerdekaan Papua],” ujar pria kulit putih itu dalam video yang diterima BBC News Indonesia, pada Selasa (14/02), kemarin tepat satu pekan setelah Philip dinyatakan disandera.
Sementara itu, Polri sedang berupaya membuka komunikasi dengan pihak penyandera pilot asal Selandia Baru, Kapten Philip Mehrtens.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Ignatius Benny Prabowo mengatakan, pihaknya sedang berfokus pada upaya menjalin komunikasi dengan kelompok TPNPB-OPM melalui tokoh-tokoh masyarakat.
“Kita berupaya untuk membuka komunikasi sebaik-baiknya terhadap pihak manapun. Dengan tujuan pencarian terhadap pilot ini bisa didapatkan dengan selamat. Kita menghindari jatuhnya korban,” tegas Benny.
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa TNI-Polri untuk saat ini tidak berencana untuk menggelar operasi penyelamatan di daerah Paro maupun sekitar.
“Kita tidak menggelar operasi. Pencarian dilakukan oleh gabungan TNI-Polri didukung oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengeklaim hingga saat ini polisi belum mengetahui pasti posisi dan keadaan pilot berkebangsaan Selandia Baru itu.
“Untuk upaya pencarian dan penyelamatan pilot saat ini masih didalami untuk memastikan posisi terakhir dari pilot Kapten Philip Marthens,” kata Benny kepada BBC News Indonesia pada Jumat (10/2)2023)
“Kita masih menduga apakah benar disandera atau berhasil melarikan diri. Belum ada bukti-bukti yang bisa memperkuat prasangka bahwa yang disandera melarikan diri,” ungkapnya.
Dihubungi secara terpisah, juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, membantah kabar bahwa Kapten Philip Mehrtens "melarikan diri", seperti diutarakan otoritas keamanan Indonesia.
Saat ini, sambungnya, pilot masih berada dalam tahanan TPNPB-OPM pimpinan Egianus Kogoya.
“Pilot bersama pasukan TPNPB dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Egianus Koiya. Pilot baik-baik, tadi baru chat kita punya jaringan. Laporannya pilot baik-baik,” kata Sebby kepada BBC News Indonesia.
SUMBER GAMBAR,TPNPB-OPM
Keterangan gambar,
Pesawat berlabel Susi Air tampak dilalap api di bagian kokpit.
SUMBER GAMBAR,TPNPB-OPM
Keterangan gambar,
Asap mengepul dari dari dalam pesawat.
Kepada BBC News Indonesia, Sebby mengeklaim bahwa TPNPB-OPM sudah mengirim surat berisi tuntutan kepada pemerintah Selandia Baru, namun belum menerima jawaban.
Menurut laporan kantor berita Australia ABC, Jumat (10/2), juru bicara Kementerian Luar Negeri Selandia Baru mengatakan mereka sedang bekerja sama dengan lembaga terkait di Selandia Baru dan Indonesia dalam menangani masalah ini.
"Keselamatan [pilot] Mehrtens adalah prioritas utama kami," katanya.
"Keluarga telah meminta privasi dalam situasi yang sangat sulit ini."
Penyelesaian kasus penyanderaan pilot Susi Air didorong lewat negosiasi
SUMBER GAMBAR,SEBBY SAMBOM
Keterangan gambar,
Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka.
Sejumlah pihak menyarankan agar pihak TPNPB-OPM dan pemerintah Indonesia menempuh jalan perundingan sebagai solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus penyanderaan pilot maskapai Susi Air yang berwarganegara Selandia Baru.
Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengatakan saat ini pilot berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mehrtens , sedang dibawa oleh tim TPNPB-OPM keluar dari Distrik Paro.
Rombongan itu, kata Sebby, menuju Kampung Darakma di Distrik Ndugama.
“Pilot orang New Zealand ini kami bawa menuju markas daerah pertahanan III dan itu jaraknya dua hari. Mereka masih dalam perjalanan,” kata Sebby kepada BBC News Indonesia, Rabu (8/2).
Menurut Sebby, pihak TPNPB-OPM mau membebaskan pilot itu asalkan pemerintah Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mau bertanggung jawab atas kemerdekaan Papua Barat.
Menanggapi peristiwa penyanderaan ini, Perdana Menteri Selandia Baru Chris Hipkins menyatakan "dukungan sudah diberikan lewat Kedutaan Selandia Baru di Jakarta". Namun, ia tidak menjelaskan detilnya.
“Kedutaan Selandia Baru di Jakarta memimpin tanggapan pemerintah Selandia Baru tentang masalah ini," ujar Hipkins kepada kantor berita Reuters.
Hingga laporan ini ditulis, Kedutaan Besar Selandia Baru di Jakarta belum memberikan pernyataan resmi.
Di sisi lain, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menampik ada peristiwa penyanderaan dan menyebut pilot itu "melarikan diri".
Sementara Polri mengaku "belum bisa memastikan kondisi pilot" dan kasus ini "masih dalam upaya penyelidikan".
Oleh karena itu, ia menyarankan agar kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan konflik agar tidak terjadi kekerasan yang akan berdampak pada warga sipil.
“Konflik normal tidak ada masalah tapi konflik kekerasan ini yang menimbulkan masalah. Ada orang disandera, bisa saja nanti dibunuh, dan sebagainya. Itu kan siklus kekerasan yang terus berulang dan harus diputus,“ ujar Elizabeth kepada BBC News Indonesia.
Meskipun sebelumnya TNI pernah menolak solusi jeda kemanusiaan karena dianggap sebagai pendekatan tidak tepat bagi penyelesaian konflik dengan TPNPB-OPM, menurut Elizabeth, upaya seperti itu masih diperlukan.
“Kalau bisa dikasih terobosan dengan jeda kemanusiaan atau minimal koridor kemanusiaan, ya para pihak itu harus sepakat untuk menghentikan konflik, apapun alasannya. Kalau bisa dicapai itu kemudian dalam waktu sesingkat-singkatnya, korban diselamatkan,“ katanya.
Jeda kemanusiaan merupakan solusi berupa kesepakatan antara kedua belah pihak untuk menghentikan konflik selama rentang waktu tertentu.
“Kalau koridor kemanusiaan itu lebih pendek, misalnya satu minggu. Jangan tembak-tembakan, kalau bisa sekalian sandera dilepas kemudian apa yang diperlukan dipenuhi dulu.
“Tujuannya menurut saya melepaskan sandera dan mereka-mereka yang terdampak konfliknya,“ kata Elizabeth.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem, juga menyatakan hal serupa. Ia menekankan perlunya pendekatan persuasif dengan berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah, terhadap TPNPB-OPM.
“Sebelum melakukan tindakan fisik, kita mendahului dengan tindakan pendekatan persuasif dengan tokoh-tokoh gereja kemudian pemerintah, kemudian masyarakat, kepala suku adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, itu penting.
“Dan kemudian dari situ kita bisa bahas bagaimana proses pendekatannya. Apakah pendekatan itu bisa dilakukan oleh pemerintah setempat kepada OPM atau dari gereja atau dari LSM atau pihak lain,“ ungkap Theo.
Menurut dia, tuntutan yang diberikan oleh pihak TPNPB-OPM -yakni permintaan agar PBB dan negara-negara Barat lainnya ikut terlibat dalam konflik tersebut – akan sulit terpenuhi dan akan memerlukan waktu lama.
Sebab, setiap negara memiliki aturan dan mekanisme mereka masing-masing soal membuat intervensi yang menyangkut wilayah kedaulatan negara lain.
“Keterlibatan PBB itu kan butuh waktu, butuh proses. Tapi yang kita butuhkan sekarang adalah aksi cepat. Bagaimana melakukan penyelamatan bagi yang disandera,“ tutur Theo.
Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama Papua: Tak dilibatkan, TPNPB ancam lakukan 'operasi besar-besaran'
'Tukang pukul kok disuruh merangkul?' - Pendekatan kesejahteraan di Papua dipertanyakan
‘Jangan sampai Mapenduma terulang’
Keterangan gambar,
Anggota gerakan separatis Gerakan Papua Merdeka (OPM) tampil di depan media di hutan belantara provinsi Papua Indonesia
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem, mewanti-wanti agar kasus penyanderaan pilot Susi Air ini tidak berujung seperti peristiwa pada 1996 silam.
(Red.)