A. Pendahuluan, Bung Husaini Daud atau m. nazar, berkenan menulis sebuah artikel dengan pembahasan menarik judul :“Bola Panas Aceh Serambi Mekkah di Ujung Barat dan Manukwari Kota Injil di Ujung Timur”.
Tulisan itu menarik karena selain membuka wawasan baru bagi kita juga mencoba membuka kedok dibalik jargonisasi yang terkesan indah namun mengandung racun karena menyimpan bom waktu adalah pemakaian agama sebagai alat belenggu kebebasan manusia. Namun menarik bagi saya tanggapi disini karena ada pesan khusus agar saya tetap idealis.
Tulisan ini respon saya persembahkan disini. Insya Allah, idealisme saya belum luntur. Saya bangga sebagai Muslim Papua, walau kadang saya keluar dari dogmatisme ajaran agama seperti kepercayaan setelah mati dan rukun iman lainnya (astaghfirullah, murtad).
Karena itu sebelumnya saya minta maaf, bahwa saya menulis tidak sebagai seorang pemeluk agama, agama apapun.
Saya mau keluar dari agama, saya mau menyoroti sebagai pihak luar, bukan sebagai penganut agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Saya "keluar" untuk netral, dari posisi penganut salah satu agama. Agar saya dapat mengembangkan idealisme secara bebas.
Disini saya akan campakkan dogmatisme agama yang membelenggu kebebasan berfikir saya untuk mengembangkan idealisme. Walau diakui, mengambil posisi netral sulit karena kita sudah terlibat didalamnya. Kecuali mengambil posisi sebagai masyarakat adat Papua untuk menghadapi semua agama.
Walaupun demikian harus berterimakasih bahwa saya banyak mengambil manfaat berbagai refrensi pemikiran para teolog, teolog semua agama. Misalnya pemikiran, Martin Luther Jr (seorang Pendeta kulit Hitam Amerika) dengan konsep Integrasi dalam politik rasisme Amerika tahun 1930-1950-an, tapi juga Uskup Bello, idola saya, dia Pastor Katolik dari Timor Leste, dan Desmon Tutu dari Afrika Selatan.
Saya lebih banyak menyukai pemikiran para sufi dari Islam abad tengah (abad 7-15) misalnya Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Robiah, Jalaluddin Ar-Rumi, dan Nasaruddin Hoja dengan kisah-kisah jenaka bijaknya dll. sekedar contoh menyebut beberapa nama.
Tapi juga saya banyak mengambil manfaat tulisan tentang demokrasi dan pemikiran inclusivisme (keterbukaan), misalnya dari Muhammad Hatta, Nurcholis Madjid, Gus-Dur dari Indonesia. Tentang pemikiran filsafat saya banyak belajar dari Frans Magnis, seorang Romo (Pastor Katolik). Lewat karya-karya Magnis saya akhirnya banyak mengetahui pemikiran filsafat Barat.
Tapi sebelumnya Muhammad Hatta dalam bukunya “Alam Pikiran Yunani” yang menjadi MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum), yang wajib diikuti seluruh mahasiswa semester awal seluruh universitas di Indonesia dan Harun Hadiwijono, “Filsafat Barat” juga memperkenalkan pemikiran filsafat Yunani kuno mulai dari Thales sampai pada Aristoteles adalah refrensi bacaan saya.
Selanjutnya saya ingin lebih menyoroti Ibnu Rusyd, seorang Filosof independent dari Andalusia (Spanyol) berhadapan dengan ulama Asy-‘Ariyah dan Al-Ghazali dari Baqhdad (Irak) dalam bagian berikut ini.
Tapi sebelum masuk pembahasan ada baiknya bapak sosiologi Muslim pertama dan utama dari Aljazair, Afrika Utara, sebelum Aguste Comte, yakni Ibnu Kholdun yang dengan sangat baik mengamati watak manusia, mau diutarakan dulu disini.
Ibnu Kholdun, dalam pengamatannya yang kemudian dibukukan judulnya: Muqoddimah (“pendahuluan”) menjelaskan secara ilmiah karakter dan watak manusia yang terbentuk dan lebih banyak dipengaruhi oleh alam lingkungan kehidupannya.
Ibnu Kholdun dalam bukunya tersebut menemukan temuan-temuan ilmiyah hasil observasi dan penelitian dari pengalaman hidup manusia, yang menunjukkan misalnya bahwa suku Baduy selalu bertemperament (watak) yang kecenderungannya keras dan kasar.
Hal itu lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam hidup mereka. Watak dan karakter seseorang dibentuk oleh alam, lingkungan kehidupan. Karena itu wataknya terbentuk cenderung kasar, kurang biasa tahu sopan santun dan liar daripada masyarakat urban kota di Baghdad atau Basrah yang lebih beradab.
Demikian juga dengan masyarakat pesisir laut, yang hidup ditengah suara bising gelombang ombak yang memekik telinga. Orang pesisir laut harus. memanggil sesamanya dengan suara keras, berteriak agar mendengar. Maka terbentuklah watak yang terkesan “kasar”, langsung-tanpa basa-basi, permisi, tanpa sopan-santun lebih dulu dan seterusnya.
Berbeda dengan orang gunung, mereka biasa hidup tanpa suara bising, sunyi, hanya suara-suara burung dari pepohonan tinggi, diatas bukit, alam dan udaranya tenang dan memanggil sesamanya dengan suara pelan dari satu bukit ke bukit sebelah, oleh tiupan angin yang sepaoi-sepoi terbawa tiba ditelinga pendengar (halus).
Ibnu Kholdun, akhirnya berkesimpulan bahwa watak dan kepribadian manusia selalu terbentuk oleh alam sekitar kehidupannya.
Manusia, binatang (hewan) dan tetumbuhan akhirnya, menunjukkan sifat adaptif dalam perkembang-biakan habitatnya.
Demikian kesimpulan pengamatan bapak sosiolog pertama dunia yang dia tulis dalam kitab judul: Al-Mukaddimah, yang terkenal itu. Teori Ibnu Kholdun dikembangkan lebih lanjut oleh Aguste Comte dari Prancis.
Elaborasi teori Ibnu Kholdun lebih lanjut dikembangkan oleh Aguste Comte dan Charles Darwin. Comte misalnya membagi tahapan perkembangan manusia tiga tahapan: Tahap mitologi, tahap agama dan rasionalisme.
Bapak sosiolog modern asal Pramcis (Aguste Comte) bahwa kecenderungan masyarakat religius (taat agama) belum dianggap maju, masih tertinggal, belum berfikir independen tapi masih diliputi rasa percaya Tuhan dengan segala konsekuensinya sebagai ciri khusus masyarakat pra modern.
Demikian adalah tahapan-tahapan perkembangan manusia dan Carles Darwin, secara agak revolusioner dalam penelitian ilmu biologi dengan experimentasinya di kepulauan Galakpagos, Amerika Tengah dengan teori Evolusi yang menghebohkan itu.
1. Iman Al Ghozali: Menghidupkan Kepercayaan Agama
Saya juga banyak mengagumi kemampuan berfikir dan argumentasi (hujjah) Imam Al-Ghazali (w. 1111) dalam meruntuhkan secara sistematis para filosof muslim yang mendahuluinya adalah kelebihan tersendiri, sehingga seorang pengamat filosof muslim abad pertengahan dari Barat pernah mengatakan bahwa orang paling besar setelah Nabi Muhammad SAW adalah Imam Al-Ghazali.
Dan disini saya juga mau tambahkan bahwa filosof terbesar dunia muslim dan komentator ulung yang mempengaruhi wacana dan mengantarkan era pencerahan di Barat-Eropa adalah Ibnu Rusyid (Averrus) dan aliran filsafatnya di Eropa disebut Avveruisme.
Karya buku Al-Ghazali banyak misalnya Al-Mustasfa, Mi’yar Al-‘Ilm tapi yang paling utama adalah kitab Ihya ‘Ulumuddin. Ghazali meninggalkan jabatan prestetius dan kehidupan mewah di Baghdad Irak berkelana sampai ke Mesir, Siria dan terakhir mengunjungi Masjid Al-Aqsho menetap dan meninggal di Palestina dalam pengembaraan kehidupan sufinya.
Konsep Imam Al-Ghazali adalah ma’rifah (“pengenalan”) atau lengkapnya ma’rifatullah, yaitu suatu pendekatan jalan menuju Tuhan sedekat-dekatnya untuk mengenal Tuhan, menyatu mencintainya adalah dengan jalan “pengelanalan”.
Jika tak kenal tak sayang, kenal muncul rasa sayang, mungkin bahasa gampangnya demikian. Menurutnya oleh sebab itu untuk dicintai atau mencinta sang kekasih abadi (Tuhan), dan bergaul sedekat-dekatnya harus kenal dulu, akrab, maka akan timbul rasa cinta antara dua kekasih yang saling jatuh cinta (antara hamba dan Tuhan), saling mengasihi.
Dan terakhir saya terus terang lebih menyukai Ibnu Rusyid daripada, tapi juga menyukai Imam Al-Ghazali. Dalam ilmu kalam kemampuan berfikir Ibnu Rusyd sangat mengagumkan.
Ibnu Rusyd mempertahankan argumentasi tentang wujud adanya Tuhan dengan menggunakan argumentasi rasional murni (aqli) daripada naqli madzhab Asy'ariyah dari Ahlusunnah Waljama'ah yang dianut Al-Ghozali, dan kebanyakan anutan muslim Asia Tenggara, juga Papua Barat. Itulah alasan utama saya lebih menyukai Ibnu Rusyid dari lain.
Jika diamati, sesungguhnya Al-Ghazali sangat paham filsafat beserta para filofot Yunani kuno, lebih khusus filsafat Plato dan Aristoteles terutama ilmu mantiq (logika). Hal ini terlihat dari misalnya kitab karangannya yang berjudul Mi'yar Al-'Ilm.
Imam Al Ghozali menunjukkan sikap meragukan panca indera, sebab kebenaran oleh lima panca indera seringkali menipu, demikian manusia jika dilihat dari ketinggian tertentu, atau dari jarak jauh berukuran sebesar semut, kecil, padahal manusia, tetap, tidak mengecil, atau membesar.
Karena itu mata bukan alat kebenaran sesungguhnya, sebab manusia dilihat dari jarak jauh menjadi kecil adalah bukti bahwa kebenaran panca indera (mata) dapat menipu karena itu disangsikan kebenarannya.
Al Ghazali, karena itu dalam kitabnya Mi’yar Al’Ilm berpendapat bahwa kebenaran panca indera sebagai alat rasionalisme para filosof beraliran Aristoteles dapat disangsikan kebenarannya untuk kekuatan hujjah (argumentasi) kebenaran demi kebenaran itu sendiri.
Karena itu baginya satu-satunya jalan menemukan kebenaran adalah dengan jalan iman pada rukun islam yang enam. Sebab tanpa bantuan iman manusia tidak sanggup menemukan kebenaran hakiki. Dan jalan menuju kepada kebenaran hakiki (Tuhan) itu adalah dengan jalan sufi.
Disini tidak disangsikan lagi bahwa Ghazali sangat rasional dan sangat ogis dalam usaha meruntuhkan argumentasi para filosof. Bahkan Al-Ghazali dalam kitabnya At-Tahafut Al-Falasifah, menyatakan bahwa yang menyebabkan kafirnya para filosof ada 20 sebab musabab.
Demikian yang berkembang pada abad tengah dalam ilmu kalam (filsafat). Termasuk qodim atau hadits (baharu) penciptaan alam menjadi perdebatan antara kaum Mu’tazilah disatu pihak dan para ulama Qodariyyah serta Asy-‘Ariyah dilain pihak dan Jabariyyah dan Jahamiyyah dalam berbagai masalah ‘aqidah oleh para filosof dan teolog muslim di abad ke 7-15 masa kejayaan peradaban Islam.
2. Ibnu Rusy: Guru Besar Peradaban Barat
Selain ketokohan Imam Al Ghozali di Timur dunia Islam, seperti diceriterakan diatas, didunia Eropa (Barat), berbagai penjuru dari Eropa datang belajar filsafat dan logika warisan Yunani kuno kepada seorang guru besar, filosof bernama Ibnu Rusy, yang aliran filsafatnya dikenal di Barat sebagai Aveorisme dari nama Ibnu Rusy dalam lisan mereka.
Ibu Rusy Menuduh Al Ghozali tidak paham pemikiran filsafat Aristoteles dan filosof Yunani seperti Plato dan Socrates. Karena menurutnya Imam Al Ghozali memgambil dan membaca karya filsafat mereka melalui salinan bukan dari sumber aslinya yang berbahasa Yunani.
Ibnu Rusy menuduh Imam Ghozali, tidak mengambil sumber logika dan filsafatnya langsung dari para filosof Yunani, terutama karya Plato dan Aristoteles, tapi melalui karya Ibnu Sina dan Al-Farobi -yang keduanya dikenal sebagai filosof muslim di Timur.
Karena itu menurut Ibu Rusyd, Al-Ghozali sesungguhnya salah mengerti maksud Ibnu Sina dan Al-Farobi, sebagaimana hal itu terlihat dari pembelaan Ibnu Rusyd dalam kitabnya yang terkenal "At-Tahafut wat-Tahafut (“kekeliruan dalam kekeliruan”) karena itu tidak etis cara demikian.
Malahan Ibnu Rusyid menuduh Al-Ghazali mengunakan ilmu logika dan filsafat Aristoteles dari pihak kedua, yang salah dimengertinya itu untuk mengkafirkan para filosof, adalah suatu tindakan “gegabah” terhadap para filosof baik wilayah Timur maupun wilayah Barat Islam sekaligus. Logika dan filsafat digunakan Imam Ghozali tujuannya hanya, sebagai pisau untuk membabat pemikiran para filosof, terutama berhadapan dengan para filosof muslim wilayah Timur (Ibnu Sina dan Al-Farobi).
Karena itu kitab Ihya ‘Ulumuddin-nya, Al-Ghazali, oleh sebahagian orang dianggap dapat mematikan kreatifitas, nalar dan pikir kaum muslimin.
Bahkan, buku karya Imam Al Ghozali judul: Ihya 'Ulumuddin, dianggap sebagai "biang kerok" kemunduran peradaban dunia Islam dewasa ini berhadapan dengan Barat. Walaupun demikian, bahwa kitab karangan Al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin, begitu mempesona merasuk hati sanubari kita yang terdalam dan dan mempribadi menuju ma'rifatullah. Maha luar biasa dari Imam Ghozali adalah mistisme rasionalnya yang saya rasa inklud dalam budaya Persia yang mengagumkan tinggi.
B. Idealisme Papua
Menyangkut idealisme Papua, secara logis, rasional (akal sehat) saya berkeyakinan, idealisme Papua tidak akan pernah mati, kapanpun, tetap menuntut hak eksistensi Papua berdaulat penuh.
Papua merdeka sebagai idealisme, sebagai gagasan, sebagai paham (ideologi), tak pernah mati. Sebagai idealisme karenanya tetap akan ada selalu dan itu terus menerus hidup antar generasi. Hari akhir, bahasa lain Hari Kiamat, yaumul qiyamah, dipahami disini, bukan ketidakpastian “kehadiran”, (Tuhan dan segala bentuk konsep eskatologi lainnya).
Bagi penulis Kiamat (qiyamah), jika pernah benar ada dipahami secara secular, akhir dari kehidupan manusia adalah kematian pribadi-pribadi, selesai! Yaumul Qiyamah (hari berdiri) berarti sesuai terjemahan makna generik, “hari berdiri”, Papua Bangkit.
1. Hegemoni Asing
Penyebab mundurnya gerakan perjuangan Papua dan tidak banyak mendapat pengikut rakyat adalah kesalahan penerapan metoda perjuangan dari konsepsi asing dari agama.
Sebagai akibatnya perlawanan secara massal oleh semua rakyat akar rumput, tidak muncul dalam perjuangan idealisme Papua, adalah dicekokinya penerapan teori "pembiaran", mesianistik dengan menyatakan "perjuangan damai".
Padahal sesungguhnya karakter dan mentalitas orang Papua sesungguhnya adalah tegas, kokoh, keras, dan penakluk.
Penerapan teori perjuangan asing dan bukan dari semangat dan mentalitas rakyat yang hidup dan berkembang adalah "biang kerok", penyebab utama, gagalnya perjuangan Papua merdeka hari ini.
Hegemoni budaya asing menyebabkan para tokoh Pejuang Papua mudah dipengaruhi misalnya lewat iming-iming wanita, minuman, uang dan jabatan adalah masalah lainnya.
Para penggiat gerakan perlawanan menerapkan spirit perjuangan didominasi oleh segala konsepsi asing. Kontras bahwa konsepsi perjuangan oleh para teolog hanya "terbatas" kepengikutan dan pengaruhnya di tingkat masyarakat bawah adalah penyebab kegagalan idealisme Papua Merdeka.
Dominasi asing itu begitu menghegemoni, mental, pikiran dan cara hidup dari budaya asing penjajah dalam usaha pembebasan Papua pada jajaran elit pejuang Papua dengan doktrin agama sebagai akibat langsung kegagalan.
Perjuangan tidak berdasarkan budaya yang hidup dan yang dianut masyarakat melainkan agama yang parsialistik. Perjuangan gerakan Papua akhirnya terjebak pada elitisme. Hanya terbatas yang mampu menerima dan mengerti dialektika teologi yang sesungguhnya sejak dini di kritik (averrous).
Dialektika konsepsi teolog tidak dipahami oleh masyarakat retorik umum dan kalangan rasionalis (demonstratif). Karena itu akibatnya sekarang yang terlihat adalah dialektika monolog, hanya kalangan tengah, kalangan teolog, yang punya akses teologi asing. Rakyat Papua dijauhkan dari diri dan budaya mereka menjadi teralienasi.
Perjuangan didominasi teolog dengan teori asing menjadi pincang, malah tidak dipahami, terasa asing oleh semua kelompok atas dan bawah rakyat Papua yang masih menghayati nilai Adat dan Budaya mereka sendiri.
Akibatnya langsung pada mentalitas, kebingungan, devrivtioni, alienation, akhirnya orang bicara Papua M adalah suatu momok menakutkan bukan berbicara tentang hak karena itu bersemangat memperjuangkannya sendiri, tapi menunggu dengan sabar, damai, menunggu Tuhan datang membebaskannya.
Akhirnya semangat perjuangan mati begitu saja tanpa bekas tatkala Otsus Papua diberlakukan, dan para pemuka masyarakat tanpa malu memperebutkan jabatan bukan lagi pikirkan perjuangan idealisme pembebasan Papua.
Padahal sesungguhnya penerapan teori asing justeru membelenggu pikiran dan semangat juang, akibatnya, berbicara kebenaran dan keadilan Papua Merdeka adalah sesuatu momok yang menakutkan bagi rakyat.
Rakyat dibuat tidak mengerti Papua merdeka adalah hak dan mereka harus meraihnya kembali, karena itu suci (fitrah) alami. Karena pada dasarnya kebebasan adalah hak dan mereka wajib meraih atas kebebasannya tanpa takut dibunuh, ditembak mati dll.
Singkatnya bahwa kesadaran politik perjuangan tidak terbangun secara memadai. Bahkan kelompok atas dan bawah tidak terlibat menentukan nasibnya sendiri, tapi hanya bisik-bisik dari mulut-kemulut, siapa melakukan apa dan bagaimana perjuangan Papua.
Perjuangan Papua merdeka yang menjalani hanya kalangan tengah, dialektika teolog. Bukan lagi perjuangan dan perlawanan rakyat semesta. Karena itu penyebab utama semua kelemahan perjuangan Papua merdeka, menurut saya, gerakan perjuangan atau perlawanan bukan dari akar budaya sendiri, budaya Papua, tetapi budaya agama yang sesungguhnya asing bagi mayoritas penduduk Papua menyebabkan gerakan perjuangan berjalan stagnan dan akhirnya guagal.
C. Pendidikan
Masyarakat Papua yang mayoritas penduduknya masih terbelakang secara pendidikan adalah tempat yang empuk bagi sekelompok elit terdidik dan pemerintah melalui aparat koloninya, mendorong dan menggiring kelompok sektarian masuk melakukan hambatan dari dalam, dan biasanya lewat lembaga agama apapun.
Salah satu contoh yang paling gampang adalah pemenerimaan para tokoh agama agar perjuangan Papua ditempuh dengan perjuangan damai.
Padahal apa yang dimaksudkan dengan “perjuangan damai” tidak sejalan dengan budaya dan karakter adat Papua sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan dan mentalitas adat unik sendiri.
Referensi perjuangan damai tidak dimiliki masyarakat, kalaupun ada penerapannya tidak persis yang dihayati rakyat, sementara pelaksanaannya dominan nilai asing agama oleh para teolog.
Ketidak merataan intelektual sebagai penyebab kurangnya moralitas pejuang Papua dan lemahnya milintasi rakyat seluruh. Akhirnya tanpa malu para teolog sendiri memperebutkan jabatan Otsus Papua.
Para petinggi Papua yang jujur mudah menerima tawaran “kasih sayang” dari pada mempertahankan prinsipnya sendiri. Ada harapan pada para teolog, tapi sebagaimana dijelaskan panjang lebar di atas, penerapan teori dipenuhi oleh teologi sektarian yang sangat dogmatis.
Demikian ini diperrumit lagi oleh para teolog non Papua, yang memiliki idealisme bukan idealisme Papua, karena itu biasanya mereka mau mengiring orang agar Papua dan rakyat bagian tak terpisahkan dari kesatuan bangsa induknya.
Agama mulanya penggerak utama perjuangan Papua Merdeka. Penjajah melihat ini bahaya, maka dimasukilah semua lembaga agama dan dipasang orang-orang non Papua sebagai pejabat di semua lembaga pengambilan kebijakan agama.
Hasilnya semua keputusan lembaga agama sebagai penggerak diintervensi untuk dipatahkan. Dominasi elit berpendidikan Papua dengan konsepsi asing dari agama menjadi parsial tidak konprehenshif sekaligus.
Demikian juga para elit, pemuka masyarakat dan kaum terdidik, saat ini sibuk bicara jabatan, tidak lagi memikirkan apalagi memperjuangkan Papua Merdeka, yakni idealisme sendiri, tapi memperjuangkan idealisme penjajah, sibuk urus pemekaran. Perjuangan dan semangat perlawanan para pemimpin, karena itu harus kembali pada adat dan budaya Papua sendiri.
Jika dibiarkan dominasi agama yang asing sama artinya menunggu pemunahan bangsa dan kekayaan alam, karena mengulur-ulur waktu dan rakyat semakin teralienasi dari akar budaya sendiri. Papua menunggu kepunahan dalam arti sesungguhnya menjadi sama dengan warga Aborogin dan Indian Amerika.
Padahal negara-negara Barat Kristen sebaliknya, revolusi politik di Prancis sebagai gerakan perlawanan terhadap agama (Gereja) yang dominan, telah melahirkan paham rasionalisme. Paham kembali pada apa yang hidup dan nyata di masyarakat bukan idealisme Tuhan.
Laicisme (paham keawaman) di Prancis telah meruntuhkan lembaga otoritas kebenaran mutlak Gereja dan Raja yang dominant adalah awal dimulainya revolusi yang melahirkan paham baru yakni egalitarianisme, humanisme dan leberalisme berhadapan dengan lembaga Gereja dan Raja di Barat-Eropa.
Dominasi dan hegemoni pemikiran rasional averoeisme telah membangkitkan kembali Eropa, dengan konsekuensinya pemisahan antara dua kebenaran, yaitu lembaga gereja dan negara, sebagai kebenaran ganda (double thrush).
Demikian akibat ilmu pengetahuan yang mempengaruhi cara pikir Barat Eropa dari abad 12 oleh dorongan pemikiran averroisme (baca Ibnu Rusyd) yang menghegemoni Eropa abad pertengahan.
Pada mulanya oleh Gereja pemikiran rasional Ibnu Rusyd dianggap sebagai "bahaya" dan "kafir". Namun pada akhirnya menjadi dominan di Eropa pada abad pertengahan, apa yang kemudian dinamakan era renainsance melahirkan pencerahan (Aufklarung) di Barat, yang puncaknya positifisme empiris lingkaran Wina (Wina circle).
Demikian kenyataan pembebasan manusia dari ketergantungan pada Tuhan yang berlebih, di Barat melahirkan rasionalisme secular dominan. Dan kemunduran dunia islam yang berlebihan oleh akibat harapan dan ketergantungan nasib pada Tuhan menjadi mundur dan kalah sekarang ini.
Secularisme yang dimensinya adalah, humanisme, liberalisme dan egalitarianisme melahirkan suatu sikap masyarakat rasional di Eropa. Namun rasionalisme yang melahirkan era modernisme dengan majunya sciance dan tekhnologi di Barat yang memudahkan hidup manusia menjadi piranti (persembahan) baru bagi masyarakat Barat adalah satu masalah tersendiri di abad ini. Dan hal itu menjadi otokritik di Barat sendiri (Cak-Nur, Religiutitas Masyarakat,1997).
D. Dominasi Konsep Agama
Dewasa ini di Barat masyarakat jarang mengunjungi gereja. Gereja adalah museum bagi kaum muda pada hari libur tertentu, dapat dibeli imigran asal Turki, Afrika, Asia atau Timur Tengah untuk dijadikan Mesjid.
Tapi justeru sebaliknya, di Papua semangat primordialisme dikipas-kipasi orang non Papua yang biasanya mendapati diri sebagai minoritas di Indonesia dan di Papua di jadikan sebagai tempat empuk dan mencoba mengindonesiakan orang Papua lewat pendekatan agama dengan label-label aneh kurang disadari para intelektual Papua.
Malah lebih parah lagi hal ini terdapat dalam masyarakat penganut agama Islam. Berbicara tentang Islam dan Muslim, sangat lebih parah dari apa yang dipaparkan mengenai masyarakat pendukung dan pendorong "Manukwari Kota Injil".
Masyarakat Muslim terdiri dari dua kelompok, pendatang dan pribumi. Yang disebut kedua kategorisasi dan sikap serta interpretasi islamnya dibagi lagi dalam berbagai kelompok antara sesat, tersesatkan, dan jahil murokkab (tidak tahu kalau dirinya tidak tahu).
Muslim “amber” mayoritas, penting disadarkan bahwa perjuangan Papua menyangkut kebenaran nilai islam universal, dan juga kewajiban (fardu 'ain) mereka. Jika memahami agamanya secara adil dan benar. Islam apalagi intrepretasi nilai-nilai kebenaran universal yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rosul, boleh jadi hasilnya yang ada saat ini amat jauh berbeda yang diharapkan.
Masyarakat amber (muhajirin) sangat amat berbeda dalam banyak hal menyangkut penafsiran dan utamanya pemahaman. Hal ini banyak dipengaruhi faktor sekunder lainnya yang melahirkan sikap apatisme dalam rangka mengambil bagian gerakan perjuangan Papua bagi kalangan “amber”.
Apalagi petugas sebagai alat penjajah yang didatangkan sebagai penjaga kedaulatan wilayah jajahan, bukan menjadi tema yang cocok pembahasan di sini. Kelemahan umumnya Muslim Papua semakin menjadi nyata dengan adanya hegemoni penafsiran Islam tunggal dan diterimanya penafsiran tunggal tanpa reinterpretasi sesuai konteks sosial budaya Papua.
Islam tidak dipahami sebagai sebuah nilai kebenaran yang bersifat universal, yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordialisme, adalah bahwa Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam, bahkan banyak kalangan muslim belum menyadari kalau dirinya di jajah Indonesia adalah kenyataan pahit bagi Muslim Papua yang tersesatkan.
Sebagaimana banyak laporan para ahli bahwa Agama Islam telah lama ada sebelum Otto dan Geisler bawa Injil Ke Mansinam Manukwari. Islam di Tanah Papua sudah ada 300 tahun yakni dari abad ke 15. Kerajaan Islam hanya di daerah pesisir Selatan, para penganutnya terdiri dari orang Papua sendiri yang berkulit hitam dan berambut keriting, tapi juga ada yang sudah campuran antara Arab, Ambon dan Asia (Sulawesi).
Penyebar Islam di Fak-Fak sendiri sebagaimana di laporkan oleh Ali Athwa (2007) terdiri dari beberapa kalangan salah satunya adalah seorang saudagar dari Aceh. ( Ali Athwa, 2007).
Islam hanya terbatas di daerah Pesisir Selatan (Fak-Fak, Bintuni, Kokoda, Kaimana, dan Raja Ampat kepulauan). Penyebaran Islam di daerah Selatan itu saja. Kerajaan islam disana masih tunduk dan dominan ke Maluku Utara.
Maluku Utara masih tunduk pada kesultanan Turki Utsmani, dan jaringannya dalam hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Asia termasuk Aceh dan Johor Malaysia. Hal ini oleh akibat perdagangan yang ramai datang dari Gujarat dan Hadramaut pada Abad 13 sampai dengan abad ke 18, yang kemudian hal itu diakhiri oleh kedatangan Purtugis-Eropa.
Jika diamati bahwa sesungguhnya pengaruh agama, kalau itu memungkinkan, maka pengaruh itu hanya dipesisir Utara antara Kepulauan Biak dan Serui, dan sebahagian kota Jayapura.
Injil yang dibawa oleh Otto dan Geisler dari Jerman yang selama 6 bulan mampir dan tinggal di Batavia (Jakarta), sebelum akhirnya melenjutkan perjalanan penginjilan ke Papua, tanggal 5 April 1855. Proses penginjilan tidak langsung dimulai. Bertahun-tahun mereka menjadi tukang kayu dan tinggal di Manukwari (Gyai, 1997).
Merauke dan sebahagian pegunungan (Suku Dani di Lembah Balim dan Suku Ekari, Mee, Paniai) sekitarnya Katolik, mendapatkan pemeluknya dengan pola penyebaran akulturasi dengan budaya setempat yang bercampur menjadi sinkretisme baru dalam proses pembentukan dewasa ini. Mayoritas penduduk Papua sebagaimana yang nyata dan hidup dewasa ini adalah dengan dominasi nilai adat dan budaya Papua asli non agama.
Bahkan para ahli agama yang melakukan penelitian Agama dan budaya orang Fasifik menunjukkan bahwa; "Agama bagi orang Papua adalah alat atau sarana bagi pencapaian prestis, bukan semata-mata karena ia menerima Yesus atau Muhammad sebagai kebenaran atau Jalan dan Hidup, melainkan lewat jalan ini orang Papua mencapai suatu tujuan lain, prestis" (Benny Giay, 1997).
Agama bagi masyarakat Fasifik dan Papua lebih khusus adalah jalan untuk prestis. Agama sebagaimana diakui Benny Giay, bagi orang Papua, bukan karena kebenaran agamanya, tapi untuk suatu tujuan lain, (prestise). Agama bukan sebagai nilai hidup yang di hayati karena kebenaran ajaran agama, tapi? Lewat agama seorang Kepala Suku, Ondoafi, Ondofolo, Kepala Kampung, disebut namanya, dengan demikian prestis seseorang diakui, entah apapun prestis itu.
Hal demikian dengan sendirinya terjadi pada seluruh suku bangsa Papua, sehingga penerapan konsep asing bukan kebutuhan. Apalagi sebagaimana diketahui bahwa penduduk terpadat dan dominant terdapat di daerah-daerah yang sulit di jangkau, terutama di daerah Pegunungan Tengah Papua yang lebih dominant menghayati nilai-nilai Melanesia (Papua) daripada lain.
Demikian yang saya amati ada pada Kepala suku Haji Muhammad Aipon Asso saat ini, tatkala Indonesia datang menjajah Papua, hal demikian juga terjadi pada sosok Abdurrahman Kosay, Ismail Yenu, Haji Irvan Wantete, Musa Asso dan para tokoh agama Nasrani.
Demikian di Lembah Balim pada tahun 1954, Missionaris Amerika dari organisasi CAMA pertama kali datang. Dan pada Suku Ekari, Mee, era 30-an dan Moni, Amugme lebih belakangan lagi, pertarungan mempertahankan nilai-nilai lama di pihak orang Papua dan pemaksaan nilai-nilai dan konsepsi baru para agamawan di pihak Missionaris telah lama berlangsung sampai sekarang. Karena itu Ukumearik Asso dari Hitigima, Lembah Balim Selatan dan Kurulu Mabel di Lembah Balim Utara, didatangi sebagai tindakan penyelamatan diri Missionaris bukan menerima agama.
Karena sebelumnya berdasarkan laporan expedisi ilmiyah pimpinan J. A. G. Kremer didaerah itu dalam perjalanannya ke Puncak Trikora dalam tahun 1920 dan 1921, dan dengan kedatangan expedisi ilmiyah Sterling dalam tahun 1926, yang melaporkan bahwa Suku Dani Kanibal, menyebabkan para missionaris seperti Benny dan Myron Bromley, karena takut, mencari perlindungan pada Kepala Suku Besar. (Pemda Papua, 2001).
E. Rekontruksi Paradigma Perjuangan
1. Penegakan Nilai Asli Papua
Rekontruksi paradigama perjuangan Papua menuju kemerdekaan dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa, yang terpenting adalah usaha bagaimana merumuskan metoda perjuangan Papua merdeka secara konprehenshif. Mengapa, bagaimana dan apa harus dirumuskan sebagai pertanyaan lebih dahulu untuk menjawab semua tantangan yang dihadapi dewasa ini.
Sehingga jalan mana, dengan apa, bagaimana cara dan mengapa harus dengan cara ini bukan cara itu lebih penting dirumuskan kembali. Supaya hasilnya tidak partial, tapi menyangkut seluruh dimensi kehidupan sosial politik dengan semangat pelibatan semua unsur sampai pada level rakyat diakar rumput. Semangat resistensi adalah semangat rakyat semesta agar kedaulatan benar-benar terwujud tanpa hambatan.
Darimana sumber nilai yang menjadi dasar dari usaha gerakan perjuangan? Sumber nilai yang harus direkontruksi berasal dari nilai-nilai lokal sebagai yang berkembang, nilai asli Papua.
Sumber nilai itu baik nilai Papua asli (genuin) yang dimiliki rakyat Papua dengan terus melakukan purefikasi (pembersihan) aspek nilai sekunder negatif dari dalam dan pengaruh dari luar oleh akibat hegemoni budaya kolonialis harus dibersihkan.
Nilai baru yang lebih baik seperti keadilan, kemanusiaan, kebebasan yang bersifat universal dapat di ramu kembali sebagai nilai sendiri dalam konteks Papua sebagai sumber kekuatan untuk dijadikan landasan rekontruksi yang dimaksudkan di sini.
Untuk itu aspek-aspek penegakan demokrasi dan HAM ditengah rakyat Papua yang terus berubah menjadi kebutuhan, penyesuaian pergerakan perjuangan OPM dengan membuka ruang pelibatan semua komponent komunitas Papua dewasa ini sebagai bagian dari gerakan perjuangan.
Hal itu tidak lain dari usaha nasionalinalisasi Papua dalam kerangka rekontruksi nilai-nilai Papua. Demikian pada akhirnya terwujud format ideal nasionalisme Papua secara sistematis. Rekontruksi berdimensi demokrasi dan HAM dalam gerakan perjuangan akan menemukan formatnya yang ideal adalah penting artinya bagi kematangan perjuangan.
Untuk kebutuhan ini maka meramu kembali nilai lama Papua dengan nilai baru adalah suatu kemestian pada saat dunia terus berubah dan meng-global. Sebab sering diingatkan bahwa yang terus abadi adalah hanya "wajah Tuhan", selainnya dalam keadaan terus berubah.
Filsafat Yunani mengajarkan Panta Rei, semua berubah, yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Demikian banyak teori filsafat dan logika filosof Islam memanfaatkannya dalam memperdebatkan ilmu kalam, (Aqo'id, Ushuluddin, Tauhid) misalnya logika Aristoteles dan filsafat idealisme Plao dan Sokrates.
Wacana rekontruksi gerakan perjuangan Papua harus dari nilai-nilai utama sendiri, nilai Papua, dan nilai baru yang disesuaikan dengan budaya Papua. Perjuangan dirumuskan dari semangat nilai asli Papua yang hidup dan nilai baru yang lebih baik sebagai bagian dari metoda perjuangan Papua menuju kadaulatan penuh. Usaha kontekstualisasi gerakan sebagai strategi baru memadai pada dirinya.
2. Kepemimpinan
Perjuangan damai bukan suatu kedamaian, sebaliknya kekerasan. Pasca dibunuhnya Theys Hiyo Eluay, rakyat Papua mengalami kekerasan dalam berbagai bentuknya. Contoh kekerasan hegemoni budaya penjajah dalam berbagai lini hidup dan kehidupan orang Papua begitu mencengkeram dirasakan rakyat Papua sejak Otsus Papua.
Sebaliknya juga harus, jadi wajib, bukan kekerasan, perjuangan ada batasan makna dan terjemahan dalam praktek lapangan yang itu memungkinkan bahwa ada proses perjuangan damai. Bukan dengan menerima semual tawaran kolonialis membiarkan idealisme sendiri mati terbunuh.
Karena itu sikap perjuangan damai, dengan membiarkan kekerasan sesungguhnya kekerasan, dengan kata lain, membiarkan kekerasan dengan menyatakan perjuangan damai adalah suatu kekerasan baru.
Seharusnya pejuang Papua bersikap tegas, menolak berbagai tawaran solusi pihak lawan adalah sikap penting sebagai kekuatan dan sekaligus senjata perjuangan. Agar perjuangan merdeka untuk berdaulat penuh ada artinya dan dapat diperhitungkan.
Perjuangan damai dalam praktek dengan berbagai manuver, lobby-lobby selain kampanye internasional yang bukan kekerasan, mendapatkan makna yang berarti ditengah rakyat. Dan kekerasan penjajah yang rakus mendapat tekanan internasional.
Krisis yang selalu didapati rakyat Papua adalah ketiadaan pemimpin yang berani dan tegas, untuk menyatakan, tidak! Pada kolonialisme. Papua dewasa ini butuh pemimpin yang berani melawan hegemoni budaya kekerasan penjajah dan kapitalisme Internasional.
Penyebab lain sehingga muncul apatisme, bukan sikap peduli terhadap perjuangan, adalah adanya elitisme perjuangan di tingkat para pemimpin Papua, walau dalam hal-hal khusus dipertahankan demikian harusnya.
Disamping tiadanya kaderisasi dan orgnisasi yang membawahi seluruh gerakan perjuangan sampai ke tingkat seluruh rakyat semesta, menjadi kebutuhan merekontruksi gerakan perjuangan Papua kedepan.
OPM sebagai organisasi perjuangan harus mampu diikuti secara massal seluruh rakyat. Untuk itu harus ada perangkat-perangkat lain sebagai sarana koordinasi, sosialisasi dan konsolidasi seluruh rakyat Papua. OPM sebagai organisasi bayangan negara Papua Barat yang diimpikan untuk diwujudkan harus dbenahi.
Inklusivitas tokoh pejuang Papua, dan usaha mau mengakui, semua sebagai bagian tak terpisahkan Papua adalah menunjukkan suatu kematangan gerakan politik dan itu dapat diperhitungkan kawan maupun lawan.
Dalam rangka ini penting ada rekayasa budaya lokal untuk memaknai demokrasi yang dapat digali dari berbagai perspektif budaya lokal dan budaya baru yang baik, termasuk dari agama apapun.
Demikian Perjuangan damai Papua mendapatkan arti perwujudannya. Organisasi di level paling bawah mestinya ada rekayasa dengan merangkul dan mengakui semua warga sebagai bagian termasuk dalam gerakan politik perjuangan Papua Merdeka sebagaimana selama ini didengungkan oleh Tuan Andy Ayamiseba (pejuang OPM senior di Vanuatu).
Berarti di sini ada usaha rekayasa sosial. Rekayasa sosial dimaksudkan suatu usaha para pemimpin untuk merumuskan, rumusan perjuangan baru dengan merekontekstualisasikan nilai-nilai lokal disatu pihak dan merespons dengan sikap positif untuk menerima transformasi nilai-nilai baru sebagai penegakan nilai-nilai HAM dan demokrasi.
Kontekstualisasi nilai-nilai budaya dan adat bagi Papua, adalah usaha kita senantiasa dari menghegemoni nilai asing. Karena kita sebagai sebuah bangsa tentu saja memiliki nilai sendiri yang utama berhadapan dengan arus transformasi nilai baru global yang berbungkus agama tak terhindarkan.
Bagi negara yang belum berdaulat seperti Papua kebutuhan saat ini adalah usaha bagaimana merekontruksi dan meretas jalan perjuangan dengan mendasarkan landasan perjuangan dengan meramu kembali nilai-nilai lokal dengan semangat masa kekinian (kontemporer) adalah urgent.
Usaha merumuskan teori perjuangan haruslah kontekstual bagi terbentuknya kedaulatan. Bahwa usaha kontekstualisasi tradisi lokal penting untuk kemudian ditransformasi dengan nilai-nilai sosial baru, guna mencari, atau sebagai jalan menuju pembebasan Papua, bukan dari lain, tapi dari hasil responsi nilai lokal dengan penyesuaian perubahan zaman. Aceh akar budaya islam kuat menjadi menyatu dalam adat dan budaya Aceh.
Demikian Papua? Saya berpendapat Papua tidak memiliki akar budaya agama yang kuat sebagaimana Aceh, yang akhirnya melaksanakan Syari'at Islam, terlepas dari sandiwara pihak Indonesia Jawa (lihat bantahan Muhammad Al-Qubro, UU Syariah NAD, "undang-undang laba-laba").
Walau saya tetap akui ada dimensi-dimensi tertentu sebagai pintu dimasukinya unsur kolonialisme, namun hipotesa saya dapat dibuktikan dari ketegaran jiwa para pemimpin dan Tokoh Aceh, baik yang menerima perjanjian Helsinki maupun menolak menerima Otsus NAD dengan pihak penjajah Hindunesia Jawa (memimjam Istilah Bung Husaini).
Papua dewasa ini belum memiliki akar budaya bersama yang itu sebagai alat perekat sekaligus pengikat bagi kekuatan, dapat dijadikan landasan perjuangan sebagaimana Aceh dengan perekat akar islamnya. Kekuatan budaya sebagai alat pengikat bersama sebagaimana di Aceh tidak dimiliki di Papua Barat. Akar dan pola budaya sebagai kekuatan untuk Papua selalu masih didapati bersifat parsialistik dewasa ini.
Inilah yang menyebabkan kelemahan yang menyentuh langsung bagi perjuangan Papua, walau ruang untuk didukung oleh mayoritas Kristen Internasional Barat di duga kuat, (seharusnya demikian, sebaliknya yang didapati, kenyataan di Papua hari ini, ketiadaan dukungan internasional yang kuat).
Oleh sebab itu MRP yang dianggap sebagai lembaga refresentasi kultural seharusnya diperkuat, dengan memberi ruang untuk menerjemahkan bagi terwujudnya nilai-nilai Papua asli, bukan nilai lain yang asing dan baru tapi juga tidak refresentatif, apalagi tidak membawa kemajuan perjuangan Papua Merdeka. Padahal itulah MRP seharusnya sebagai tempat apalikasi nilai-nilai Budaya dan Adat sebagai bagian dari Mentalitas perjuangan Papua Merdeka yang melekat.
Sebagaimana MRP sebagai perjuwudan adat dan budaya Papua tidak ada satupun rekomendasinya di setujui, misalnya; rekomendasi agar bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku Papua, dijadikan sebagai lambang kultural, seperti juga agar usulan MRP, PT Freeport ditutup dan lakukan kontrak karya ulang dengan melibatkan masyarakat Papua sebagai pemilik ulayat ditampik Jakarta. Itu artinya MRP memiliki bergaining posision dan diperhitungkan Penjajah sekaligus ditakuti secara bisu alias diam.
MRP walaupun juga ada wakil agama, misalnya ada yang mewakili Islam, Kristen Protestan dan Katolik, yang duduk semua di lembaga ini adalah semua orang Papua, tidak ada yang duduk di lembaga ini non etnis Papua sebagai lembaga suara hati rakyat Papua sesungguhnya.
Hal ini sebaliknya dengan, Aceh Darussalam sebagai kota "Serambi Mekkah", bukan hal baru. Adat dan Budaya Aceh sangat includ dengan nilai islam. Itulah budaya Aceh. Nagri Aceh Darussalam (NAD) telah menyatu dan islamlah budayanya. Maka ketika kemudian pelaksanaan "Syariat Islam" di tuntut Daud Beureuh kepada Soekarno, sistem thoghut ditolak para ulama Aceh sejak dini pendirian negara Indonesia.
******
DAFTAR BACAAN
1. Koenjaraningrat dkk, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Gramedia, Jakarta 1993
2. Astrid Susanto-Sunario (Penyuting), Kebudayaan Jayawi Jaya, Gramedia, Jakarta, 1994
3. KH. Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999
4. Taswirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Islam Pribumi Menolak Arabisme Mencari Islam Indonesia, Edisi No. 14, Jakarta, 2003
5. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Aabd ke 20, Kanisius, Jakarta, 2000
6. ---------------------------13 Tokoh Etika dari Yunani Sampai abad 20, Kanisius, Jakarta 1996
7. ----------------------------Etika Dasar, Kanisius, Jogjakarta, 1987
8. ----------------------------Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
9. ----------------------------Menalar Tuhan, Kanisius, Jakarta, 2006
10. Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2000
11. ----------------------------Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta 2002
12. ----------------------------Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 2000
13. Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam, Bunga Rampai, Paramadina, Jakarta, 2000
14. Hasan Turobi, Fiqih Demokratis Dari Tradisionalisme Koloktif Menuju Modernisme Populis, (terje) Abdul Haris dan Zainul Ani, Rosda Karya, Bandung, 2003
15. Eggy Sudjana, Mencari Sosok Pemimpin Masa Depan, Marja’, Bandung, 2005
16. Snoauck Hurgronje, Kumpulan Karangan VII, (terj), INIS, Jakarta, 1993
17. Muhammad Atif Al-‘Iroqi, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyid, (penerj), Askin Wijaya, Jogjakarta, 2003
18. Amin Abdullah, Study Agama Normativitas atau Historitas, Pustaka Pelajar, Jogjakarta 1996
19. Benny Giay, Gembalakanlah Umatku Gereja Kemah Injil (Kingmi) Dalam Masa yang Terus Berubah, Deiyai, Jayapura, 1998
20. Dicky Natalis Pigay, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua,Snar Harapan, Jakarta, 2000
21. Pimscoorl, Belanda di Irian Jaya, Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962, (penerj), R. G. Soekadijo, Garba Budaya, Jakarta, 2001
22. Zamakkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,(Cet. Ke-4), 1984
23. J. B. A. F. Mayor Polak, Sosiology Pengantar, Balai Buku “Iktiar”, Jakarta 1994
24. Antony Storr, Freud Peletak Dasar Psikoanalisis (penerj), Dean Pratier, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991
25. Mukhtar Lubis, Manusia Indonesia Sebuah Tanggungjawab, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, (Cet. Ke-8), 1988
26. Max Weber, Sosiology Agama, (terj), Muhammad Yamin, Jogjakarta, IRCISOD, 2002
27. Muhammad Shomali, Relativisme Etika, Memetik Perdebatan Hangat dan Memetik Wawasan Baru Tentang Dasar-Dasar Moralitas, (terj), Zaimul Am, PT. Ilmu Semesta, Jakarta, 2005
28. Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, PT Mizan Pustaka, Bandung, Cet. Ke- 111, 2005