Jakarta, Nama Eggi Sudjana kembali mencuat di panggung hukum nasional. Setelah enam tahun berlalu sejak penahanannya dalam kasus dugaan makar (ucapan “people power”) tahun 2019, kini Eggi kembali menghadapi status hukum baru, tersangka dalam kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Kisah panjang ini menyingkap satu kenyataan getir tentang wajah penegakan hukum di negeri ini, bahwa seseorang bisa saja terus disandera oleh status “tersangka”, bahkan tanpa pernah mendapatkan ruang untuk membela diri di pengadilan.
Pada tahun 2019, ketika suhu politik sedang panas akibat kontestasi Pilpres antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo, Eggi Sudjana yang saat itu aktif dalam barisan pendukung Prabowo dijerat dengan tuduhan makar karena seruan “people power”.
Ia ditangkap dan ditahan selama 41 hari di Polda Metro Jaya, di sebuah ruang sempit dan lembap. Ironisnya, selama masa penahanan itu, Eggi tidak pernah disidangkan. Tak ada proses hukum terbuka yang memberi kesempatan baginya untuk membela diri di depan majelis hakim.
Saat itu, Kapolri dijabat oleh Jenderal Tito Karnavian, sementara Kapolda Metro Jaya adalah Irjen Gatot Eddy Pramono, dan penanganan kasus berada di bawah koordinasi Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Namun hingga kini, kasus makar tersebut tidak kunjung berujung pada putusan pengadilan. Statusnya sebagai tersangka masih menggantung hingga hari ini, sebuah anomali hukum yang menyalahi asas "presumption of innocence", asas praduga tak bersalah yang seharusnya menjadi pondasi setiap proses hukum yang adil.
Belum tuntas persoalan itu, Eggi kembali menjadi sorotan karena perannya sebagai kuasa hukum Bambang Tri Mulyono orang yang pertama kali menggugat keabsahan ijazah mantan Presiden Jokowi. Dalam proses hukum yang menjerat Bambang Tri, publik menyaksikan banyak kejanggalan, salah satunya tidak pernah ditunjukkannya ijazah SMA Jokowi sebagai bukti autentik di pengadilan.
Persidangan yang menjerat Bambang Tri pun berakhir dengan vonis hukuman, namun banyak pihak menilai prosesnya tidak mencerminkan transparansi dan keadilan. Alih-alih mengusut substansi persoalan, hukum justru menjerat pembawa pesan, bukan isi pesannya.
Dalam konteks inilah, amnesti yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Bambang Tri dan Gus Nur sejatinya merupakan langkah politik kebangsaan yang bernilai strategis. Amnesti tersebut seharusnya dibaca sebagai tanda rekonsiliasi nasional, untuk meredakan kemelut berkepanjangan terkait isu ijazah palsu Jokowi yang telah memicu perpecahan sosial dan ketegangan politik.
Namun, Polri tampaknya gagal membaca pesan moral dari kebijakan negara tersebut. Alih-alih menutup bab lama dan memulihkan kepercayaan publik, Polda Metro Jaya justru menetapkan Eggi Sudjana dan tujuh aktivis lainnya sebagai tersangka baru dalam kasus yang sama, sebuah langkah yang terkesan kontradiktif dan tidak proporsional.
Hal yang paling membingungkan dari kasus ini adalah logika penetapan tersangka. Bagaimana mungkin seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka tanpa pernah disidik secara layak?
Beberapa hari sebelum penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya, pihak kepolisian menyebutkan bahwa Eggi dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Namun, Eggi menjelaskan bahwa dirinya tidak dapat hadir karena sakit, dan telah menyampaikan alasan tersebut secara resmi.
Dalam hukum acara pidana, seseorang hanya bisa ditetapkan sebagai tersangka setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan yang sah, termasuk pemeriksaan terhadap diri yang bersangkutan. Jika tahapan itu dilewati, maka penetapan tersangka menjadi cacat hukum secara formil dan melanggar prinsip hukum.
Kasus Eggi ini memperlihatkan bagaimana proses hukum bisa diputarbalikkan menjadi alat politik yang menghukum, bukan mengadili. Ia tidak sedang berhadapan dengan hukum yang mencari kebenaran, tetapi dengan kekuasaan yang ingin membungkam.
Sudah sepatutnya negara mengembalikan hak-hak hukum Eggi Sudjana sebagai warga negara. Status tersangkanya dalam kasus makar 2019 harus dicabut, dan dalam kasus ijazah palsu Jokowi, proses hukum yang tidak logis itu perlu dihentikan.
Lebih jauh lagi, negara wajib meminta maaf kepada Eggi dan keluarganya atas penderitaan yang timbul akibat tuduhan dan penahanan yang tidak berdasarkan keadilan hukum. Pemulihan nama baik dan kompensasi bukanlah kemurahan hati, melainkan kewajiban konstitusional negara terhadap warganya yang dirugikan oleh kekuasaan.
*Penutup*
Eggi Sudjana mungkin hanya satu dari banyak warga yang menjadi korban “hukum yang belum merdeka.” Namun kisahnya menjadi cermin tajam bagi bangsa ini, bahwa keadilan bukan sekedar soal pasal dan prosedur, namun tentang keberanian negara untuk menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu.
Sampai hari ini, Eggi masih menyandang status tersangka. Namun bagi publik yang cermat membaca, yang bersalah bukanlah Eggi, melainkan sistem hukum yang terus menunda keadilan.