Jakarta, detikNewstv.com -
Tarnama Institute dan Forjuba (Forum Jurnalis Batak) menyelenggarakan Focus Group Dicussion (FGD), Senin, 6/10.2025, mengenai Kejuangan Raja Sijorat VIII dalam perang melawan penjajah Belanda sejak Maret 1878 sampai wafatnya Raja Sisingamangaraja XII 1907.
FGD Kejuangan Raja Sijorat yang diselenggarakan di Kampus Universitas Mpu Tantular Jakarta tersebut dibuka Ketua Tarnama Institute Budi Sinambela, MBA, setelah Ir. Santiamer Sihaloho, Sekretaris Tarnama Institute menyempaikan kata pengantar dan Ny Ludin Panjaitan Br Pasaribu memimpin lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Tampil sebagai pembicara (pemantik diskusi) akademisi Dr. Petrus Panjaitan (Dosen UKI); Jurnalis Ch. Robin Simanullang (Penulis buku Hita Batak: A Cultural Strategy; Ketua Dewan Penasehat Forjuba); Jurnalis Ludin Panjaitan, SH, MM- mewakili Keluarga Raja Sijorat Paraliman Pandjaitan. FGD dihadiri beberapa dosen dan mahasiswa Universitas Mpu Tantular, Dr. Nelson Simanjuntak, Ir. Nikolas Sinar Naibaho, MBA, Dr. Rifal Banjar Nahor, Asdon Hutajulu, SH, Ir. J. Panjaitan, Ketua HBB Bekasi bersama beberapa pengusus HBB Jakarta dan Bekasi.
Dr. Petrus Panjaitan menekankan pentingnya penulisan sejarah dengan dukungan referensi alat bukti sejarah. Dia mengungkapkan, ayahnya menulis sejarah tentang Panjaitan tapi dia belum menerbitkannya karena sangat kurang referensi. Dia pun berharap penulisan kejuangan Raja Sijorat selain bersumber oral story perlu dukungan referensi atau artefak lainnya.
Sementara, Drs. Ludin Panjaitan, mengutarakan cerita perjuangan Raja Sijorat VIII sedemikian rupa sehingga sangat layak diusulkan mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional (Perintis Kemerdekaan).
Drs. Ch. Robin Simanullang yang sedikit-banyak menulis perjuangan Raja Sijorat bersama raja-raja Bius/Huta lainnya untuk menghadapi tentara penjajah Belanda, menimpali penegasan Dr. Petrus Panjaitan tentang mutlak perlunya referensi tertulis (artefak) untuk mengungkap lebih detail perjuangan Raja Sijorat. Namun dia mengatakan salut kepada keluarga Raja Sijorat yang telah memulai menulis sejarah ompu-nya, walaupun masih lebih berkekuatan oral story. “Tinggal melengkapinya dengan referensi lainnya,” ujarnya.
Memang para ahli sejarah masih berpandangan oral story sangat lemah poisisinya sebagai alat bukti sejarah. Ch. Robin Simanullang mengungkapkan, itulah kelemahan pendahulu kita, kendati punya aksara dan memiliki banyak Pustaha Laklak, tapi tak satu pun pustaha laklak itu menulis sejarah dan nilai-nilai luhur kebatakan; Bahkan tarombo (silsilah) pun tidak ditemukan dalam ribuan Pustaha Laklak.
Maka, Simanullang, menegaskan, kita harus memulai menulis sejarah tokoh-tokoh leluhur Batak kendati berbasis oral story. Dia meneyebut, Amerika Serikat sejak tahun 1960-an telah menggalang penulisan oral story sebagai sumber sejarah. Dia menyebut, orang Batak punya keunggulan dalam penuturan lisan nilai-nilai dan sejarah masa lalunya, saatnya kita budayakan dengan menuliskannya.
FGD ini akan dilanjutkan dengan diskusi-diskusi dan seminar yang direncanakan diselenggarakan 28 Oktober 2025 di Aula UMT Jakarta Timur.
Dalam pembicaraan khusus, Tarnama Institute bersama Forum Jurnalis Batak (Forjuba) sepakat untuk mendukung dan menggalang penulisan sejarah Batak, sejarah marga-marga dan sejarah tokoh-tokoh Ompu marga Batak untuk memperkaya literasi Batak.
Penulis : Hardi.P