Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

13 Pelanggaran Tata Ruang di WBD Jatiluwih Belum Ditindak Tegas Muncul Lagi Pelanggaran Serupa, Warga: Kami Ikut Bangun Disini

Juli 07, 2025 | Juli 07, 2025 WIB Last Updated 2025-07-07T04:23:44Z
BALI- Kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan telah mendapat pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD).

Kawasan Catur Angga Batukaru, termasuk Subak Jatiluwih dan tiga kawasan lainnya yang merupakan satu-kesatuan ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD), sejak 20 Juni 2012.

Sebagai kawasan WBD, kawasan Jatiluwih memerlukan pelestarian dan keberlanjutan, yang  harus ditata sesuai dengan kriteria UNESCO tentang WBD.

Mengingat, kawasan  Jatiluwih juga berfungsi sebagai penopang air dalam bentuk sungai hingga  sumber mata air besar, seperti keberadaan Tukad Yeh Ho serta mata air  yang ada di kawasan Jatiluwih.

Pasalnya, kawasan Jatiluwih juga masuk areal Catur Angga Batukaru sebagai wilayah disucikan, yang ditetapkan oleh UNESCO, yang sepatutnya tidak boleh dilakukan pembangunan akomodasi pariwisata, sejauh mata memandang ke arah Gunung Batukaru. 

Oleh karena itu,  Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan telah membentuk Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)  yang anggota terdiri dari masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten  Tabanan, pada bulan Maret 2025.

Bahkan, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)  langsung diketuai oleh Sekda Tabanan dengan anggota terdiri dari sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP), Dinas Lingkungan Hidup (LH), Dinas Pariwisata dan Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan.

Tak hanya berfungsi mengendalikan pembangunan dan pemanfaatan ruang di Kabupaten Tabanan, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)
juga bakal bekerja melakukan validasi data ruang dari setiap perizinan elektronik yang terbit pada Online Single Submission (OSS).

Tak hanya itu, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)  juga bertugas memberikan kajian dan melakukan validasi data tentang Tata Ruang terhadap sebuah perizinan berusaha yang muncul dalam OSS secara elektronik.

Menariknya, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)  justru  menemukan sejumlah Pelanggaran Tata Ruang yang sudah terjadi,  khususnya tentang alih fungsi lahan yang dimulai dari titik nol jalur hijau, areal barat Gunung Batukaru hingga daerah Gunung Batukaru, yang  termasuk kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih.

Secara keluruhan,  ditemukan 13 bangunan akomodasi pariwisata yang melakukan pelanggaran di kawasan WBD Jatiluwih terkait Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun  2023. Selain itu, juga melanggar WBD Landskep Catur Angga Batukaru dan sekitarnya yang ditetapkan UNESCO.

Ironisnya, 13 bangunan itu berada di kawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), yang terindikasi 
 pembangunan akomodasi pariwisata tersebut melakukan  pelanggaran, diantaranya Warung Metig Sari, Warung Anataloka, Warung Krisna D Uma Jatiluwih, Warung Nyoman Tengox, Agrowisata Anggur, Cata Vaca Jatiluwih, Warung Wayan, Gren e-bikes Jatiluwih, Warung Manik Luwih, Gong Jatiluwih, Villa Yeh Baat,  Warung Manalagi dan The Rustic yang sekarang bernama Sunari Bali. 

Sebelumnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) I Made Dedy Darmasaputra menyebutkan,  pembentukan Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) Kabupaten Tabanan, termasuk Dinas PUPRPKP Tabanan menjadi anggota bertugas  melakukan kesesuaian lahan dan mengendalikan Tata Ruang, termasuk melakukan kajian Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di Kabupaten Tabanan.

"Ini khan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sudah terbentuk, tinggal RDTR belum dan forum ini akan ikut membantu nantinya," kata Dedy Darmasaputra, saat dikonfirmasi awak media, Minggu, 2 Maret 2025.

Terlebih lagi, saat rapat beberapa waktu lalu, Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) Kabupaten Tabanan ini sudah membahas adanya indikasi 13 pelanggaran Tata Ruang yang terjadi di Jatiluwih, karena sudah menjadi temuan. 

Meski 13 usaha akomodasi pariwisata di DTW Jatiluwih memang telah memiliki ijin OSS berusaha, tapi belum memiliki izin IMB atau sekarang yang bernama Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

"Setiap perizinan OSS yang terbit, kemudian ada rencana pembangunan fisik, kami Forum Penataan Ruang inilah yang melakukan validasi data apakah sudah sesuai dengan RTRW Tabanan dan aturan," paparnya.

Dari pantauan di lapangan, belum tuntas 13 Pelanggaran Tata Ruang, justru ditemukan tumpang tindih bangunan yang melanggar hingga diketahui  berjumlah melebihi 20 akomodasi pariwisata yang dirancang akan membabat lahan, guna melakukan pelanggaran serupa.

Hal tersebut diakui salah seorang warga setempat, yang mengaku turut serta memulai untuk membangun villa dan rumah makan (restoran) di kawasan WBD Jatiluwih, dikarenakan hal serupa juga dilakukan tetangganya, yang ternyata pelanggaran itu tidak dikenakan sanksi tegas.

"Jika sudah ada indikasi Sawah dan Ladang diubah fungsinya, itu pelanggaran namanya. Disini ada dua yang patut ditaati, yaitu Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Warisan Budaya Dunia (WBD). Itu batasnya dari desa tadi disitu sampai ke tikungan hingga barat ke Batukaru dan areal Batukaru sudah dulu ada pelanggaran. Nah, karena tetangga sebelah membangun, saya juga melakukan  hal serupa. Toh juga tidak ada sanksi tegas dari Pemerintah Daerah setempat," kata warga setempat, yang tak mau disebutkan namanya, saat dikonfirmasi awak media di WBD Jatiluwih, Minggu, 6 Juli 2025.

Hingga saat ini, warga juga mempertanyakan sikap Pemerintah Daerah setempat yang belum melakukan  tindakan tegas apapun atas pelanggaran yang dilakukan.

Padahal, sudah diketahui ada sejumlah pelanggaran pembangunan akomodasi pariwisata, yang disinyalir menghalangi pemandangan Gunung dan Sawah Terasering yang menjadi ciri khas WBD Jatiluwih.

"Apa kerjanya Forum Penataan Tata Ruang (FPTR), kok menambah pelanggaran. Itu berarti Forum itu juga salah, semua kena itu. Nah, bagaimana ini, karena kini ada lagi sejumlah pelanggaran, jika dihitung bisa melebihi 20 akomodasi pariwisata, tapi belum tuntas masalah 13 bangunan melanggar Tata Ruang yang hingga kini belum juga ditindak tegas. Ini khan bisa kacau WBD Jatiluwih terkait Tata Ruang. Itu melanggar Cagar Budaya Dunia dan Lahan Sawah Dilindungi (LSD)," tegasnya lagi.

Hal senada juga diungkapkan Tokoh Masyarakat Jatiluwih yang menyebutkan  penanganan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) sangatlah rumit, karena kewenangan LSD tidak bisa ditangani Bupati Tabanan, sehingga tidak mudah mengubah LSD, karena perlu banyak kajian. 

Namun, patut dipertanyakan apakah jika pelanggaran aturan Tata Ruang, yang semakin marak dikawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), dan Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih, Bupati maupun wakil Bupati sebagai kepala Daerah, apakah tidak kena sangsi ??, sesuai regulasi yang berlaku 

Jika sejumlah pelanggaran tersebut tidak ditindaklanjuti,  warga khawatir akan berimbas pada  jumlah kunjungan wisatawan bakal terus menurun ke Jatiluwih. Parahnya lagi, WBD Jatiluwih juga bakal terancam dicabut oleh UNESCO, jika Pemkab Tabanan lamban menegakkan aturan.

Jika sudah diperingatkan masih juga membandel, maka seharusnya bangunan yang melanggar Tata Ruang harus dibongkar. 

"Itu pelanggaran bangunan bisa segera di-buldozer, karena6 sudah dikirimin beberapa kali Surat Peringatan khan begitu. Jika tidak juga masih membandel, ya harus dibongkar paksa," jelasnya.

Disinyalir lagi, bahwa  Forum Penataan Tata Ruang (FPTR)  yang didalamnya ada Dinas PUPRPKP jarang turun ke lapangan untuk mengecek lagi kondisi terkini di lapangan. Hal tersebut berpotensi  ada lagi sejumlah pelanggaran serupa yang bakal dilakukan warga untuk membangun akomodasi pariwisata di Jatiluwih.

"Itu Forum sudah tiga bulan terbentuk, yang semestinya Dinas PUPRPKP yang berikan Sanksi Peringatan itu. Belum selesai peringatan itu, ada beberapa lagi  pelanggaran ditemukan," sebutnya.

Adanya sejumlah pelanggaran hingga muncul lagi pelanggaran serupa, ternyata belum ada sikap tegas dari Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) Tabanan menyikapi sejumlah pelanggaran yang dilakukan sejumlah akomodasi pariwisata tersebut.

"Ada baru lagi, kok belum bersikap, khan terus muncul baru lagi banyak pelanggaran. Jadi, bagaimana fungsi Pemerintah, dalam hal ini Forum Penataan Tata Ruang Tabanan (FPTR) Tabanan. Jika seperti ini kondisinya, kami juga mengambil sikap serupa untuk membangun di kawasan Jatiluwih," tandasnya.

Jika melihat situasi seperti ini, warga lainnya juga menimpali bakal ikut serta membangun akomodasi pariwisata, karena punya lahan di jalur yang sama, meski dibangun dengan semi permanen.

"Saya dari dulu takut membangun akomodasi pariwisata, karena saya tahu tempat saya masuk WBD Jatiluwih dan LSD. Waktu itu saya dicari oleh Satpol PP Tabanan. Saya dilarang, sekarang  kok orang lain, tetangga saya malah bisa membangun akomodasi pariwisata disitu. Ya, besok saya ikut juga membangun disini, meski kena jalur Cagar Budaya Dunia," ungkapnya.

Patut diketahui, bahwa pembangunan villa bodong di  areal Jatiluwih menuai musibah beberapa waktu lalu, karena komposisi dan karakteristik tanah tidak cocok dibangun villa, restoran dan akomodasi pariwisata lainnya. 

"Karakteristik tanah disini tidak cocok dibangun Villa dan Restoran, apalagi saat musim hujan bisa terjadi tanah longsor, seperti kejadian beberapa  waktu lalu sebuah villa bodong dibangun di Jatiluwih terkena dampak tanah longsor," tegasnya. 


( Tim redaksi)
×
Berita Terbaru Update